I. Latar Belakang
Bahan bakar minyak (BBM)
merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui yang terbentuk dari fosil di
dalam perut bumi dan di abad modern ini telah menjadi salah satu kebutuhan
primer yang penting bagi penduduk dunia. Di Indonesia konsumsi BBM menunjukkan
trend yang meningkat setiap tahun dimana saat ini mencapai 1,3 juta barrel
perhari[1].
Dalam tinjauan
lingkungan, program konversi ini, bila berhasil, dinilai lebih ramah
lingkungan. Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar relatif lebih bersih dan
berpolusi lebih ringan dibandingkan dengan bahan bakar minyak tanah. Di samping
itu, cadangan gas di perut bumi Indonesia
jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Dengan demikian, ada
penghematan pemakaian minyak bumi demi keberlanjutan sumberdaya energi di masa
yang akan datang.
Namun, program
yang bertujuan baik ini terancam gagal dengan banyaknya penolakan oleh
masyarakat. Masyarakat yang sudah
merasa nyaman menggunakan minyak tanah merasa terusik kenyamanannya. Kompor gas
dengan bahan bakar elpiji kurang akrab bagi sebagian besar masyarakat
perdesaan, khususnya masyarakat miskin. Belum lagi adanya ketakutan yang
berlebihan bahwa kompor gas mudah meledak dan terbakar. Kekhawatiran juga
banyak dirasakan oleh para agen dan pengecer minyak tanah dan tentu saja para
pembuat kompor minyak tanah. Terbayang di hadapan mereka kalau akan kehilangan
pekerjaan bila program konversi jadi dilaksanakan.
Ancaman kegagalan program konversi minyak tanah ke
gas elpiji ini tidak lepas dari kurangnya sosialisasi. Sosialisasi yang telah
berjalan selama ini hanya sebatas sosialisasi di media massa. Sosialisasi
kurang melibatkan para stakeholder, termasuk masyarakat, bahkan Pertamina
sendiri tidak dilibatkan dalam sosialisasi[2]. Sasaran sosialisasi adalah agar semua pihak yang
terlibat dalam program ini dapat mengenal dan memahami kelebihan dan kekurangan
penggunaan kompor gas.
Dampak yang mungkin timbul dari pelaksanaan
program konversi juga harus dijelaskan dengan transparan. Sudahkah dipikirkan
nasib para pembuat dan penjual kompor minyak, serta agen dan pengecer minyak
tanah? Memang, sudah ada pemikiran kalau agen minyak tanah secara otomatis akan
menjadi agen elpiji, tetapi kenyataannya mereka sendiri tidak banyak yang
mengetahui.
Bagaimana
dengan masyarakat pengguna? Sangat wajar kalau masyarakat, yang selama ini
tidak pernah memegang kompor gas tiba-tiba disuruh menggunakannya, merasa
ketakutan akan bahaya kompor gas. Mengubah kebiasaan masyarakat bukanlah
pekerjaan mudah dan singkat. Perlu waktu lama untuk mengubahnya, apalagi
masyarakat yang minim informasi dan kurang terbuka akan teknologi baru. Perlu
waktu untuk melatih dan membiasakan penggunaan kompor gas, termasuk
penanggulangan kalau ada gangguan atau kerusakan. Itu semua harus disosialisasikan.
Kalau kita amati sejak peluncuran program konversi
hingga saat ini, ternyata pemerintah masih menggunakan cara-cara lama, yaitu
pendekatan top-down. Ini adalah paradigma lama pembangunan di
Indonesia, yaitu pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah
tanpa melibatkan masyarakat. Masyarakat tidak pernah ditanya, apakah mereka
membutuhkan kompor gas dan elpiji. Masyarakat diposisikan sebagai objek
pembangunan yang harus selalu menerima apapun yang datang dari atas.
Paradigma baru pembangunan di Indonesia adalah
menggunakan pendekatan partisipatif. Masyarakat dilibatkan dalam semua tahapan
pembangunan di daerahnya mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengoperasian, hingga pemantauan. Faktor terpenting dalam pendekatan
partisipatif adalah adanya tanggap kebutuhan (demand responsive).
Sebelum pemerintah atau pemberi dana membangun suatu sarana di desa, maka
masyarakat harus ditanya terlebih dahulu, apa sebenarnya yang mereka butuhkan. Partisipasi akan muncul apabila
rencana pembangunan itu mengakomodasi keinginan masyarakat. Misal, bila
masyarakat membutuhkan gedung sekolah, maka gedung sekolah yang harus
diberikan, bukan sarana yang lain.
II. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana pro dan konta terhadap
kebijakan pemerintah tentang konversi dari minyak tanah ke gas ?
2.
Apa
dampak dari konversi minyak tanah ke gas?
3.
Apakah
konversi minyak tanah ke gas sudah tepat?
III. Kerangka Teori
III.1 Public Policy
Dapat menciptakan sesuatu dan dapat pula diciptakan oleh sesuatu Pada
intinya membuat suatu kebijakan pemerintah merupakan suatu studi tentang proses
kebijakan itu sendiri karena public policy merupakan decision making ( memilih
dan menilai yang ada untuk meyelesaikan masalah). Dalam hal ini pemerintah
mengambil kebijakan tentang konversi minyak ke gas, pemerintah ingin
menyelesaikan masalah penghematan sumber daya minyak dan menggantinya menjadi
alternatif lain yaitu gas.
III.2. Pengertian pemerintahan
Secara
etimologi
- Perintah
berarti melakukan pekerjaan menyuruh (2 pihak yaitu yang memerintah dan yang
diperintah)
- Pemerintah (Pe) berarti badan yang melakukan
kekuasaan memerintah
- Pemerintahan (akhiran an) berarti perbuatan, cara atau urusan dari badan
yang memerintah tersebut.
III.3. Pengertian
Kebijakan
- Hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya
(Robert Eyestone).
- Apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan
atau tidak dilakukan (Thomas R.Dye).
- Sejumlah aktivitas pemerintah, baik
langsung atau melalui perantara, yang mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan warga negara(B. Guy Peters).
Kebijakan adalah : Seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang
diambil oleh seorang atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan pemilihan
tujuan dan sarana pencapaiannya dalam suatu situasi khusus dimana keputusan-keputusan
itu seharusnya, secara prinsip, berada dalam kekuasaan para aktor tersebut
untuk pencapaiannya (William I. Jenkins,1978). Kebijakan yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat pemerintah (James E Anderson).Kebijakan: suatu rangkaian atau
pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan
dengan suatu masalah atau suatu hal tertentu.
III.4. Minyak dan Gas Bumi
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak Bumi Dan Gas BAB I Pasal 1.
Yang dimaksud dengan Minyak dan Gas Bumi adalah : bahan-bahan galian minyak bumi,
aspal, lilin bumi, semua jenis bitumen yang padat maupun cair dan semua gas
bumi serta semua hasil-hasil pemurnian dan pengolahan bahan-bahan galian
tersebut, tidak termasuk bahan-bahan galian anthrasit dan segala macam batu
bara, baik yang tua maupun yang muda.
IV. Pembahasan
IV.1 Pro – Kontra Konversi
Minyak Tanah Ke Gas
Telah terjadi pro dan kontra masalah konversi
minah ke gas. Tidak hanya di Sumut tetapi juga di P. Jawa sebelumnya. Kasusnya
hampir sama. Sehingga terjadinya pro-kontra seputar konversi minah ke elpiji
ini merupakan hal yang sering kita jumpai. Apalagi hal ini merupakan program
baru pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Justru itu semua pihak hendaknya
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga tidak terjadi hal-hal yang
merugikan masyarakat, bangsa dan negara. konversi minah ke elpiji bukan untuk
mensejahterakan kehidupam rakyat, justru menzalimi rakyat miskin, tentunya
mereka sudah punya alasan dan bukti nyata di lapangan. Dalam hal ini pemerintah
diminta agar lebih fokus pada upaya-upaya pengentasan kemiskinan rakyat yang
kian bertambah dan tidak diketahui kapan akan berkurangnya. Semuanya punya
alasan bila kita melihat kenyataan di lapangan semakin sulitnya penghidupan
rakyat kelas bawah. Penghiduan masyarakat kelas bawah sangat sulit, apalagi
sedang dilanda krisis keuangan global, sehingga angka pengangguran semakin
bertambah.
Ketika konversi minah ke gas berjalan, maka jumlah
pengangguran akan semakin banyak. Sebab, pihak pangkalan minah kehilangan mata
pencarian. Satu pangkalan saja setidaknya menggunakan 2-3 pekerja. Nah, kalau
dijumlahkan pastilah semakin banyak orang kehilangan pekerjaan pas kebijakan
konversi dijalankan.Belum lagi proses adaptasi masyarakat harus menyesuaikan
diri membutuhkan waktu dan memiliki risiko yang cukup besar, karena kondisi
tabung elpiji yang tidak memenuhi standar, apalagi di daerah padat penduduk
yang rawan kebakaran.
Sebaliknya, pihak pemerintah dalam hal ini
Pertamina memberi argumentasi yang lain. Rakyat lebih diuntungkan dengan
menggunakan gas. Keuntungannya tidak hanya dari segi materi (uang). Penggunaan
gas elpiji, walaupun tidak bisa dibeli secara eceran seperti minyak tanah, akan
menguntungkan masyarakat. Apabila setiap keluarga memakai satu liter minyak
tanah setiap harinya, maka diperlukan dana sekitar Rp75.000- Rp90.000 per
bulan, sementara kalau menggunakan elpiji hanya Rp51 ribu per bulan. Hitungan
Rp51 ribu itu berdasarkan perhitungan 1 liter minyak tanah setara dengan 0,4 kg
elpiji, sehingga untuk menggantikan 30 liter minyak tanah per bulan cukup
menggunakan elpiji 12 kg[3].
IV.2. Dampak konversi minyak Tanah ke Gas
Masalahnya bukan lagi
karena harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi atau masalah Bank
Centuri yang tak kunjung selesai. Tetapi keresahan rakyat disebabkan kelangkaan
minyak tanah yang beredar di pasaran. Di beberapa daerah, hanya untuk mendapatkan
lima liter minyak tanah, ratusan warga terpaksa harus antre hingga berjam-jam. Ratusan jerigen minyak tanah pun tampak
berjejer-jejer hingga ke pinggir jalan. Kita pun bertanya-tanya, sebenarnya ada
apa dengan minyak tanah di negara kita? Bukankah negara kita kaya akan minyak?
Padahal setelah 64 tahun kita merdeka, negara kita sudah mengalami banyak
perkembangan dan kemajuan. Tetapi kenapa hanya untuk mendapatkan lima liter
minyak tanah saja, kita seperti kembali pada zaman penjajahan dulu, dimana segala
kebutuhan hidup sulit didapatkan. Apakah ini dampak dari kebijakan pemerintah
yang telah menetapkan program konversi minyak tanah ke gas?
Seperti kita ketahui, pada bulan Mei 2007, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan konversi minyak tanah ke gas/elpiji dengan alasan untuk penghematan
subsidi pemerintah sektor minyak tanah untuk rumah tangga yang diprediksikan
akan membengkak sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus
melambung. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk meringankan beban rakyat
dengan penggunaan gas elpiji yang bisa lebih menghemat pengeluaran dibandingkan
dengan menggunakan minyak tanah. Kita pun kembali bertanya-tanya, benarkah
kebijakan tersebut untuk meringankan beban penderitaan rakyat? Lalu kenapa
rakyat masih juga membutuhkan minyak tanah, meski kini semakin sulit untuk
mendapatkannya. Kalaupun ada, harganya kadang melambung tinggi, tetapi rakyat
tetap memaksa untuk membelinya. Apakah pemerintah sudah melakukan kebijakan
yang tepat? Kita pun mulai curiga, kalau kebijakan pemerintah untuk meniadakan
minyak tanah dan menggantikannya dengan penggunaan gas elpiji sebenarnya
memiliki kepentingan lain. Jangan-jangan ada kepentingan bisnis dari para
pengusaha yang ikut bermain di dalamnya. Karena kenyataannya, kebijakan tersebut
bukan malah membantu meringankan beban kehidupan rakyat, tetapi malah membuat
rakyat semakin susah[4]. Bagaimanapun rakyat tetap membutuhkan minyak
tanah. Apalagi saat listrik padam, rakyat harus menghidupkan lampu petromaks
dan lampu teploknya di rumah dengan minyak tanah. Lalu, kalau minyak tanah
benar-benar ditiadakan, akan jadi apa nantinya?
IV.3. Konversi Minyak
Tanah ke Gas Belum Tepat
Mungkin kita akan kembali menggunakan kayu bakar
untuk memasak dan hanya bisa menggunakan lilin sebagai alat penerangan di malam
hari saat listrik padam. Kehidupan memang sudah semakin maju, bahkan saking
majunya, kita seperti harus kembali hidup di zaman dulu. Bukankah pemerintah
sudah harus mulai berpikir bagaiman caranya mengelola minyak sendiri sehingga
tak lagi harus mengimpor minyak karena negara kita kaya akan minyak. Kalau
negara bisa mengelolah minyak sendiri, tentu tidak akan terjadi kekisruhan di
masyarakat hanya untuk mendapatkan minyak tanah. Sebab untuk memproduksi BBM
sendiri, kita hanya perlu mengeluarkan Rp 600/liter[5].
Negara kita diperkirakan memiliki cadangan minyak
77 miliar barel, dengan produksi BBM dalam negeri berkisar 900 ribu barel/hari.
Sedangkan konsumsi BBM dalam negeri hanya sekitar 1,4 juta barel/hari. Jadi
dengan persediaan minyak 77 miliar barel, maka negara kita seharusnya tak perlu
takut akan kehabisan minyak. Tetapi kenyataan yang terjadi, kita seperti negara
miskin yang selalu kekurangan akan sumber daya minyak.
Pemerintah selama ini terkesan hanya mau seenaknya
sendiri. Tidak ada usaha nyata yang benar-benar dapat diwujudkan untuk
mengatasi masalah yang sesungguhnya terjadi. Semua yang dilakukan hanya
bersifat "tutup lubang, galih lubang". Seperti halnya dengan
mengalihkan minyak tanah ke gas elpiji. Apalagi pada prakteknya di lapangan,
kebijakan tersebut begitu terburu-buru dilakukan, tanpa adanya sebuah
pertimbangan dan pemikiran yang matang. Lihatlah bagaimana sosialisasi tentang
pemerataan pemakaian gas elpiji yang belum lagi selesai dilakukan, tetapi
subsidi minyak tanah sudah dihapuskan. Akibatnya terjadilah kelangkaan dan
melambungnya harga minyak tanah di pasaran. Sehingga dapat memancing terjadinya
berbagai kecurangan, seperti harga minyak tanah yang bisa mencapai Rp
6.500/liternya di beberapa pangkalan. Padahal harga yang telah ditetapkan dari
Pertamina hanya sekitar Rp 3.000 sampai Rp.3.500/liternya. Lalu siapa yang
dirugikan dan siapa yang paling diuntungkan?
Kini rakyat seolah dipaksa untuk mau mengubah
tradisi dari menggunakan minyak tanah menjadi menggunakan gas. Apapun tuntutan
rakyat, Pertamina dan pemerintah seolah "tutup mata" terhadap kondisi
kelangkaan minyak tanah yang kini terjadi. Pemerintah masih saja ngotot untuk
tetap melaksanakan kebijakan konversi minyak tanah ke gas, meski kondisinya
belum memungkinkan. Rakyat kini suka atau tidak suka seolah dipaksa untuk mau
menerimanya. Padahal kebijakan tersebut terkesan hanya asal dikerjakan saja.
Lihatlah bagaimana tabung gas elpiji yang sudah
dipasarkan kepada masyarakat, terkesan hanya asal diproduksi saja, tanpa memikirkan
keselamatan para penggunanya. Rakyat pun kini mulai dilanda kecemasan.
Banyaknya tabung gas elpiji yang meledak hingga menimbulkan kebakaran bahkan
hingga menewaskan korban jiwa, telah membuat mereka enggan untuk menggunakannya
meskipun sudah ada tabung gas elpiji di rumah. Mereka takut kalau sewaktu-waktu
tabung gas yang mereka gunakan meledak saat sedang memasak. Jadi mereka memilih
jalan aman dengan tetap menggunakan kompor, meski harus antre berjam-jam hanya
untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.
V. Kesimpulan
Kebijakan konversi minyak tanah ke gas
perlahan-lahan telah menimbulkan keresahan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Konversi minyak tanah ke gas yang ditetapkan pemerintah melalui Pertamina
bukannya meringankan beban rakyat, tetapi malah menambah kesengsaraan dan
penderitaan rakyat. Karena kenyataannya, gas belum bisa sepenuhnya digunakan
untuk menggantikan minyak tanah.
Bagaimanapun, rakyat tetap membutuhkan minyak
tanah. Maka tak ada jalan lain, untuk mengatasi keresahan yang kini terjadi,
pemerintah harus melanjutkan program subsidi minyak tanah karena kalau tidak
kondisinya akan semakin parah. Pemerintah harus segera meninjau kembali
kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji karena penggunaan gas elpiji
untuk mengurangi beban rakyat dinilai tidak tepat dan belum waktunya
diberlakukan. Pemerintah jangan lagi hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis
semata dengan menjadikan proyek kompor dan tabung gas elpiji sebagai lahan
untuk mengeruk keuntungan. Sedangkan di sisi lain rakyat yang menjadi
korbannya.
Pemerintah harus mengembalikan hak rakyat. Dulu,
minyak tanah begitu mudah didapat di warung-warung, tanpa harus mengantri di
pangkalan untuk mendapatkannya. Negara kita bukannya kehabisan stok minyak,
tetapi Pertamina yang telah semena-mena memotong jalur distribusi minyak tanah
kepada masyarakat dengan cara menyetop penyaluran-penyaluran minyak tanah ke
agen-agen minyak tanah di daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai target
konversi minyak tanah ke gas. Sehingga minyak tanah menjadi langka. Kalau pun
ada, rakyat harus antre untuk mendapatkannya.
Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan seperti
sekarang ini, tidak ada jalan lain lagi, rakyat harus terus mendesak
pemerintah. Rakyat tidak bisa diam saja. Rakyat harus menuntut yang menjadi
haknya. Rakyat juga harus menuntut pemerintah untuk mau merevisi UU No.22 Tahun
2001 tentang Migas dengan UU Migas yang baru yang benar-benar pro rakyat
seperti apa yang telah diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Kini, minyak tanah semakin langka, rakyat pun
semakin resah. Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Membiarkan rakyat terus
menderita dan terluka atau tetap memberlakukan kebijakan yang kini justru malah
mendatangkan kesengsaraan bagi kehidupan rakyat. Maka sudah saatnyalah
pemerintah mau untuk membuka mata dan melihat kondisi rakyat yang sesungguhnya,
kalau pemerintah benar-benar masih memiliki hati nurani untuk meringankan beban
penderitaan rakyat. Seharusnya pemerintah dapat membuat kebijakan yang adil,
cerdas dan penuh pertimbangan guna mengatasi berbagai kekisruhan yang sedang
terjadi. Semoga nantinya masalah minyak tanah dapat segera teratas.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
44 tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.
Buku
Sanusi, Bachwar, Potensi Ekonomi
Migas indonesia, Jakarta: PT, Rineka Cipta, 2004.
Dharmawan,HBC, BBM, antara Hajat
Hidup dan Lahan Korupsi, cetakan 1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Website
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=139973,
8 Agustus 2007.
http://Berita harian Sore.com, 19 mei 2009, oleh
stmiklogika.
http://www.analisadaily.com/index.
Dampak kebijakan konversi minyak tanah ke
gas, 2010, oleh Anita Saragih.
[1] Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi
Migas indonesia, Jakarta: PT,Rineka Cipta, 2004, hal 52.
[2]
http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=139973, 8 Agustus 2007
[3] http://Berita
harian Sore.com, 19 mei 2009, oleh stmiklogika
[5]. HBC Dharmawan, BBM, Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi, cetakan 1, Jakarta: Penerbit
Bukuk Kompas, 2005, hal 65.
terimakasih sob buat infonya dan salam sukses selalu
BalasHapusmantap bos artikelnya dan sangat menarik
BalasHapusmakasih gan infonya dan semoga bermanfaat
BalasHapus