Langsung ke konten utama

STUDI KEBIJAKAN PUBLIK : KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS

I. Latar Belakang

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui yang terbentuk dari fosil di dalam perut bumi dan di abad modern ini telah menjadi salah satu kebutuhan primer yang penting bagi penduduk dunia. Di Indonesia konsumsi BBM menunjukkan trend yang meningkat setiap tahun dimana saat ini mencapai 1,3 juta barrel perhari[1].
Dalam tinjauan lingkungan, program konversi ini, bila berhasil, dinilai lebih ramah lingkungan. Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar relatif lebih bersih dan berpolusi lebih ringan dibandingkan dengan bahan bakar minyak tanah. Di samping itu, cadangan gas di perut bumi Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi. Dengan demikian, ada penghematan pemakaian minyak bumi demi keberlanjutan sumberdaya energi di masa yang akan datang.
Namun, program yang bertujuan baik ini terancam gagal dengan banyaknya penolakan oleh masyarakat. Masyarakat yang sudah merasa nyaman menggunakan minyak tanah merasa terusik kenyamanannya. Kompor gas dengan bahan bakar elpiji kurang akrab bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat miskin. Belum lagi adanya ketakutan yang berlebihan bahwa kompor gas mudah meledak dan terbakar. Kekhawatiran juga banyak dirasakan oleh para agen dan pengecer minyak tanah dan tentu saja para pembuat kompor minyak tanah. Terbayang di hadapan mereka kalau akan kehilangan pekerjaan bila program konversi jadi dilaksanakan.
Ancaman kegagalan program konversi minyak tanah ke gas elpiji ini tidak lepas dari kurangnya sosialisasi. Sosialisasi yang telah berjalan selama ini hanya sebatas sosialisasi di media massa. Sosialisasi kurang melibatkan para stakeholder, termasuk masyarakat, bahkan Pertamina sendiri tidak dilibatkan dalam sosialisasi[2]. Sasaran sosialisasi adalah agar semua pihak yang terlibat dalam program ini dapat mengenal dan memahami kelebihan dan kekurangan penggunaan kompor gas.
Dampak yang mungkin timbul dari pelaksanaan program konversi juga harus dijelaskan dengan transparan. Sudahkah dipikirkan nasib para pembuat dan penjual kompor minyak, serta agen dan pengecer minyak tanah? Memang, sudah ada pemikiran kalau agen minyak tanah secara otomatis akan menjadi agen elpiji, tetapi kenyataannya mereka sendiri tidak banyak yang mengetahui.
Bagaimana dengan masyarakat pengguna? Sangat wajar kalau masyarakat, yang selama ini tidak pernah memegang kompor gas tiba-tiba disuruh menggunakannya, merasa ketakutan akan bahaya kompor gas. Mengubah kebiasaan masyarakat bukanlah pekerjaan mudah dan singkat. Perlu waktu lama untuk mengubahnya, apalagi masyarakat yang minim informasi dan kurang terbuka akan teknologi baru. Perlu waktu untuk melatih dan membiasakan penggunaan kompor gas, termasuk penanggulangan kalau ada gangguan atau kerusakan. Itu semua harus disosialisasikan.
Kalau kita amati sejak peluncuran program konversi hingga saat ini, ternyata pemerintah masih menggunakan cara-cara lama, yaitu pendekatan top-down. Ini adalah paradigma lama pembangunan di Indonesia, yaitu pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Masyarakat tidak pernah ditanya, apakah mereka membutuhkan kompor gas dan elpiji. Masyarakat diposisikan sebagai objek pembangunan yang harus selalu menerima apapun yang datang dari atas.
Paradigma baru pembangunan di Indonesia adalah menggunakan pendekatan partisipatif. Masyarakat dilibatkan dalam semua tahapan pembangunan di daerahnya mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian, hingga pemantauan. Faktor terpenting dalam pendekatan partisipatif adalah adanya tanggap kebutuhan (demand responsive). Sebelum pemerintah atau pemberi dana membangun suatu sarana di desa, maka masyarakat harus ditanya terlebih dahulu, apa sebenarnya yang mereka butuhkan. Partisipasi akan  muncul apabila rencana pembangunan itu mengakomodasi keinginan masyarakat. Misal, bila masyarakat membutuhkan gedung sekolah, maka gedung sekolah yang harus diberikan, bukan sarana yang lain.

II. Rumusan Masalah
            Permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.    Bagaimana pro dan konta terhadap kebijakan pemerintah tentang konversi dari minyak tanah ke gas ?
2.      Apa dampak dari konversi minyak tanah ke gas?
3.      Apakah konversi minyak tanah ke gas sudah tepat?

III. Kerangka Teori

III.1 Public Policy
Dapat menciptakan sesuatu dan dapat pula diciptakan oleh sesuatu Pada intinya membuat suatu kebijakan pemerintah merupakan suatu studi tentang proses kebijakan itu sendiri karena public policy merupakan decision making ( memilih dan menilai yang ada untuk meyelesaikan masalah). Dalam hal ini pemerintah mengambil kebijakan tentang konversi minyak ke gas, pemerintah ingin menyelesaikan masalah penghematan sumber daya minyak dan menggantinya menjadi alternatif lain yaitu gas.

III.2. Pengertian pemerintahan
Secara etimologi
  1. Perintah berarti melakukan pekerjaan menyuruh (2 pihak yaitu yang memerintah dan yang diperintah)
  2.  Pemerintah (Pe) berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah
  3.  Pemerintahan (akhiran an) berarti perbuatan, cara atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.

III.3. Pengertian Kebijakan
  1. Hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya (Robert Eyestone).
  2. Apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Thomas R.Dye).
  3. Sejumlah aktivitas pemerintah, baik langsung atau melalui perantara, yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga negara(B. Guy Peters).

Kebijakan adalah : Seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang diambil oleh seorang atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan pemilihan tujuan dan sarana pencapaiannya dalam suatu situasi khusus dimana keputusan-keputusan itu seharusnya, secara prinsip, berada dalam kekuasaan para aktor tersebut untuk pencapaiannya (William I. Jenkins,1978). Kebijakan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah (James E Anderson).Kebijakan: suatu rangkaian atau pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan dengan suatu masalah atau suatu hal tertentu.

III.4. Minyak dan Gas Bumi
            Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak Bumi Dan Gas BAB I Pasal 1. Yang dimaksud dengan Minyak dan Gas Bumi adalah : bahan-bahan galian minyak bumi, aspal, lilin bumi, semua jenis bitumen yang padat maupun cair dan semua gas bumi serta semua hasil-hasil pemurnian dan pengolahan bahan-bahan galian tersebut, tidak termasuk bahan-bahan galian anthrasit dan segala macam batu bara, baik yang tua maupun yang muda.

IV. Pembahasan

IV.1 Pro – Kontra Konversi Minyak Tanah Ke Gas

Telah terjadi pro dan kontra masalah konversi minah ke gas. Tidak hanya di Sumut tetapi juga di P. Jawa sebelumnya. Kasusnya hampir sama. Sehingga terjadinya pro-kontra seputar konversi minah ke elpiji ini merupakan hal yang sering kita jumpai. Apalagi hal ini merupakan program baru pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Justru itu semua pihak hendaknya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. konversi minah ke elpiji bukan untuk mensejahterakan kehidupam rakyat, justru menzalimi rakyat miskin, tentunya mereka sudah punya alasan dan bukti nyata di lapangan. Dalam hal ini pemerintah diminta agar lebih fokus pada upaya-upaya pengentasan kemiskinan rakyat yang kian bertambah dan tidak diketahui kapan akan berkurangnya. Semuanya punya alasan bila kita melihat kenyataan di lapangan semakin sulitnya penghidupan rakyat kelas bawah. Penghiduan masyarakat kelas bawah sangat sulit, apalagi sedang dilanda krisis keuangan global, sehingga angka pengangguran semakin bertambah.
Ketika konversi minah ke gas berjalan, maka jumlah pengangguran akan semakin banyak. Sebab, pihak pangkalan minah kehilangan mata pencarian. Satu pangkalan saja setidaknya menggunakan 2-3 pekerja. Nah, kalau dijumlahkan pastilah semakin banyak orang kehilangan pekerjaan pas kebijakan konversi dijalankan.Belum lagi proses adaptasi masyarakat harus menyesuaikan diri membutuhkan waktu dan memiliki risiko yang cukup besar, karena kondisi tabung elpiji yang tidak memenuhi standar, apalagi di daerah padat penduduk yang rawan kebakaran.
Sebaliknya, pihak pemerintah dalam hal ini Pertamina memberi argumentasi yang lain. Rakyat lebih diuntungkan dengan menggunakan gas. Keuntungannya tidak hanya dari segi materi (uang). Penggunaan gas elpiji, walaupun tidak bisa dibeli secara eceran seperti minyak tanah, akan menguntungkan masyarakat. Apabila setiap keluarga memakai satu liter minyak tanah setiap harinya, maka diperlukan dana sekitar Rp75.000- Rp90.000 per bulan, sementara kalau menggunakan elpiji hanya Rp51 ribu per bulan. Hitungan Rp51 ribu itu berdasarkan perhitungan 1 liter minyak tanah setara dengan 0,4 kg elpiji, sehingga untuk menggantikan 30 liter minyak tanah per bulan cukup menggunakan elpiji 12 kg[3].

IV.2. Dampak konversi minyak Tanah ke Gas

            Masalahnya bukan lagi karena harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi atau masalah Bank Centuri yang tak kunjung selesai. Tetapi keresahan rakyat disebabkan kelangkaan minyak tanah yang beredar di pasaran. Di beberapa daerah, hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah, ratusan warga terpaksa harus antre hingga berjam-jam. Ratusan jerigen minyak tanah pun tampak berjejer-jejer hingga ke pinggir jalan. Kita pun bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan minyak tanah di negara kita? Bukankah negara kita kaya akan minyak? Padahal setelah 64 tahun kita merdeka, negara kita sudah mengalami banyak perkembangan dan kemajuan. Tetapi kenapa hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah saja, kita seperti kembali pada zaman penjajahan dulu, dimana segala kebutuhan hidup sulit didapatkan. Apakah ini dampak dari kebijakan pemerintah yang telah menetapkan program konversi minyak tanah ke gas?
Seperti kita ketahui, pada bulan Mei 2007, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas/elpiji dengan alasan untuk penghematan subsidi pemerintah sektor minyak tanah untuk rumah tangga yang diprediksikan akan membengkak sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus melambung. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk meringankan beban rakyat dengan penggunaan gas elpiji yang bisa lebih menghemat pengeluaran dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah. Kita pun kembali bertanya-tanya, benarkah kebijakan tersebut untuk meringankan beban penderitaan rakyat? Lalu kenapa rakyat masih juga membutuhkan minyak tanah, meski kini semakin sulit untuk mendapatkannya. Kalaupun ada, harganya kadang melambung tinggi, tetapi rakyat tetap memaksa untuk membelinya. Apakah pemerintah sudah melakukan kebijakan yang tepat? Kita pun mulai curiga, kalau kebijakan pemerintah untuk meniadakan minyak tanah dan menggantikannya dengan penggunaan gas elpiji sebenarnya memiliki kepentingan lain. Jangan-jangan ada kepentingan bisnis dari para pengusaha yang ikut bermain di dalamnya. Karena kenyataannya, kebijakan tersebut bukan malah membantu meringankan beban kehidupan rakyat, tetapi malah membuat rakyat semakin susah[4]. Bagaimanapun rakyat tetap membutuhkan minyak tanah. Apalagi saat listrik padam, rakyat harus menghidupkan lampu petromaks dan lampu teploknya di rumah dengan minyak tanah. Lalu, kalau minyak tanah benar-benar ditiadakan, akan jadi apa nantinya?

IV.3. Konversi Minyak Tanah ke Gas Belum Tepat
Mungkin kita akan kembali menggunakan kayu bakar untuk memasak dan hanya bisa menggunakan lilin sebagai alat penerangan di malam hari saat listrik padam. Kehidupan memang sudah semakin maju, bahkan saking majunya, kita seperti harus kembali hidup di zaman dulu. Bukankah pemerintah sudah harus mulai berpikir bagaiman caranya mengelola minyak sendiri sehingga tak lagi harus mengimpor minyak karena negara kita kaya akan minyak. Kalau negara bisa mengelolah minyak sendiri, tentu tidak akan terjadi kekisruhan di masyarakat hanya untuk mendapatkan minyak tanah. Sebab untuk memproduksi BBM sendiri, kita hanya perlu mengeluarkan Rp 600/liter[5].
Negara kita diperkirakan memiliki cadangan minyak 77 miliar barel, dengan produksi BBM dalam negeri berkisar 900 ribu barel/hari. Sedangkan konsumsi BBM dalam negeri hanya sekitar 1,4 juta barel/hari. Jadi dengan persediaan minyak 77 miliar barel, maka negara kita seharusnya tak perlu takut akan kehabisan minyak. Tetapi kenyataan yang terjadi, kita seperti negara miskin yang selalu kekurangan akan sumber daya minyak.
Pemerintah selama ini terkesan hanya mau seenaknya sendiri. Tidak ada usaha nyata yang benar-benar dapat diwujudkan untuk mengatasi masalah yang sesungguhnya terjadi. Semua yang dilakukan hanya bersifat "tutup lubang, galih lubang". Seperti halnya dengan mengalihkan minyak tanah ke gas elpiji. Apalagi pada prakteknya di lapangan, kebijakan tersebut begitu terburu-buru dilakukan, tanpa adanya sebuah pertimbangan dan pemikiran yang matang. Lihatlah bagaimana sosialisasi tentang pemerataan pemakaian gas elpiji yang belum lagi selesai dilakukan, tetapi subsidi minyak tanah sudah dihapuskan. Akibatnya terjadilah kelangkaan dan melambungnya harga minyak tanah di pasaran. Sehingga dapat memancing terjadinya berbagai kecurangan, seperti harga minyak tanah yang bisa mencapai Rp 6.500/liternya di beberapa pangkalan. Padahal harga yang telah ditetapkan dari Pertamina hanya sekitar Rp 3.000 sampai Rp.3.500/liternya. Lalu siapa yang dirugikan dan siapa yang paling diuntungkan?
Kini rakyat seolah dipaksa untuk mau mengubah tradisi dari menggunakan minyak tanah menjadi menggunakan gas. Apapun tuntutan rakyat, Pertamina dan pemerintah seolah "tutup mata" terhadap kondisi kelangkaan minyak tanah yang kini terjadi. Pemerintah masih saja ngotot untuk tetap melaksanakan kebijakan konversi minyak tanah ke gas, meski kondisinya belum memungkinkan. Rakyat kini suka atau tidak suka seolah dipaksa untuk mau menerimanya. Padahal kebijakan tersebut terkesan hanya asal dikerjakan saja.
Lihatlah bagaimana tabung gas elpiji yang sudah dipasarkan kepada masyarakat, terkesan hanya asal diproduksi saja, tanpa memikirkan keselamatan para penggunanya. Rakyat pun kini mulai dilanda kecemasan. Banyaknya tabung gas elpiji yang meledak hingga menimbulkan kebakaran bahkan hingga menewaskan korban jiwa, telah membuat mereka enggan untuk menggunakannya meskipun sudah ada tabung gas elpiji di rumah. Mereka takut kalau sewaktu-waktu tabung gas yang mereka gunakan meledak saat sedang memasak. Jadi mereka memilih jalan aman dengan tetap menggunakan kompor, meski harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan lima liter minyak tanah.

V. Kesimpulan
Kebijakan konversi minyak tanah ke gas perlahan-lahan telah menimbulkan keresahan dan kesengsaraan bagi rakyat. Konversi minyak tanah ke gas yang ditetapkan pemerintah melalui Pertamina bukannya meringankan beban rakyat, tetapi malah menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Karena kenyataannya, gas belum bisa sepenuhnya digunakan untuk menggantikan minyak tanah.
Bagaimanapun, rakyat tetap membutuhkan minyak tanah. Maka tak ada jalan lain, untuk mengatasi keresahan yang kini terjadi, pemerintah harus melanjutkan program subsidi minyak tanah karena kalau tidak kondisinya akan semakin parah. Pemerintah harus segera meninjau kembali kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji karena penggunaan gas elpiji untuk mengurangi beban rakyat dinilai tidak tepat dan belum waktunya diberlakukan. Pemerintah jangan lagi hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis semata dengan menjadikan proyek kompor dan tabung gas elpiji sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan. Sedangkan di sisi lain rakyat yang menjadi korbannya.
Pemerintah harus mengembalikan hak rakyat. Dulu, minyak tanah begitu mudah didapat di warung-warung, tanpa harus mengantri di pangkalan untuk mendapatkannya. Negara kita bukannya kehabisan stok minyak, tetapi Pertamina yang telah semena-mena memotong jalur distribusi minyak tanah kepada masyarakat dengan cara menyetop penyaluran-penyaluran minyak tanah ke agen-agen minyak tanah di daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai target konversi minyak tanah ke gas. Sehingga minyak tanah menjadi langka. Kalau pun ada, rakyat harus antre untuk mendapatkannya.
Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini, tidak ada jalan lain lagi, rakyat harus terus mendesak pemerintah. Rakyat tidak bisa diam saja. Rakyat harus menuntut yang menjadi haknya. Rakyat juga harus menuntut pemerintah untuk mau merevisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dengan UU Migas yang baru yang benar-benar pro rakyat seperti apa yang telah diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Kini, minyak tanah semakin langka, rakyat pun semakin resah. Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Membiarkan rakyat terus menderita dan terluka atau tetap memberlakukan kebijakan yang kini justru malah mendatangkan kesengsaraan bagi kehidupan rakyat. Maka sudah saatnyalah pemerintah mau untuk membuka mata dan melihat kondisi rakyat yang sesungguhnya, kalau pemerintah benar-benar masih memiliki hati nurani untuk meringankan beban penderitaan rakyat. Seharusnya pemerintah dapat membuat kebijakan yang adil, cerdas dan penuh pertimbangan guna mengatasi berbagai kekisruhan yang sedang terjadi. Semoga nantinya masalah minyak tanah dapat segera teratas.


  
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.

Buku
Sanusi, Bachwar, Potensi Ekonomi Migas indonesia, Jakarta: PT, Rineka Cipta, 2004.


Dharmawan,HBC, BBM, antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi, cetakan 1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.


Website

http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=139973, 8 Agustus 2007.

http://Berita harian Sore.com, 19 mei 2009, oleh stmiklogika.

http://www.analisadaily.com/index. Dampak kebijakan konversi minyak tanah ke gas, 2010, oleh Anita Saragih.



[1] Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas indonesia, Jakarta: PT,Rineka Cipta, 2004, hal 52.
[2] http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=139973, 8 Agustus 2007
[3] http://Berita harian Sore.com, 19 mei 2009, oleh stmiklogika
[4]. http://Dampak kebijakan konversi minyak tanah ke gas, 2010, oleh Anita Saragih
[5]. HBC Dharmawan, BBM, Antara Hajat Hidup dan Lahan Korupsi, cetakan 1, Jakarta: Penerbit Bukuk Kompas, 2005, hal 65.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritikan Terhadap Teori Talcott Parsons : Fungsionalisme Struktural

Talcott Parsons: Fungsionalisme Struktural                                 Pendahuluan  Di era modernisasi bahwa keilmuan merupakan sarat utama yang harus di miliki oleh manusia agar dapat menjalankan hidup secara dinamis dan kontekstual. Unsur-unsur yang bersifat rasional sangat dijunjung tinggi sebagai pembuktian tentang hal tersebut sehingga dapat dikategorikannya ke dalam sebuah ilmu yang bersifat ilmiah. Berbagai pendekatan dalam kajian dunia keilmuan merupakan hal yang terpenting untuk memperkuat fakta dan data agar dapat dijadikan sesuatu yang empiris berdasarkan rasionalitas manusia. Secara normatif, sesuatu dikatakan sebagai ilmu dalam konteks sekarang salah satunya adalah memiliki teori di dalamnya. Teori berfungsi sebagai pisau analisis dari sebuah keilmuan. Tingkat pengelompokan teori-teori dalam keilmuan pada hakekat dan perkembangannya dibagi ke dalam beberapa bagian sesuai deng...

Ngurus Surat Bebas Narkoba, Surat Sehat dan Surat Tidak Sakit Jiwa di RS Permerintah Medan

Berbagi cerita mengurus surat keterangan bebas Narkoba di Rumah Sakit Umum Pemerintah Pirngadi Medan. Untuk melengkapai berkas pengurusan NIDN saya harus melampirkan beberapa berkas, salah satunya yaitu surat bebas narkoba, surat keterang sehat, dan tidak sakit jiwa. Saya dtg ke RS Pirngadi Medan sekitar pukul 10.00 pagi, saya fikir langsung ke bagian test..ehhhh ternyata saya harus mendaftar dulu ke loket rawat inap yg ada di ujung bangunan rumah sakit..distu saya harus bayar Rp.15.000 untuk mendaftar. Setelah itu naik ke lantai 3 untuk tes bebas narkoba, dtg ke loket tunjukin kertas kuitansi dr yg 15rb td terus nanti nama kita di cetakin barecode, dan di tempelin sprti stiker di wadah kecil untuk menampung air seni, tp sblm itu harus kekasir dulu untuk bayar Rp.160.000. Selesai membayar karna menunggu hasilnya sekitar 1 jam lebih jadi saya putuskan untuk buat surat keterangan sehat. turun lah saya ke lantai 2 dengan menggunakan lift, sampai disana keruangan sus...

Gaya Kepemimpinan Organisasi HMI

                 GAYA KEPEMIMPINAN DI ORGANISASI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM Pendahuluan 1.1   Latar Belakang Mahasiswa adalah seseorang yang belajar/ menuntut ilmu di perguruan tinggi tertentu dan masih terdaftar di perguruan tinggi tersebut. Dengan demikian mahasiswa merupakan kaum intelektual yang memiliki tanggungjawab sosial yang khas sebagai mana yang telah dirumuskan oleh Edward Shill. menurutnya kaum intelektual memiliki lima fungsi yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sedangkan menurut Arbi Sanit mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Berdasar beberapa pendapat di atas tentunya kita selaku mahasiswa harus menyadari fungsi dan perannya di masyarakat, sehingga bisa menempatkan diri secara proporsional sesuai den...