Langsung ke konten utama

PELANGGARAN HAM DI ACEH

Pendahuluan

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.

Kesadaran akan hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.

Namun demikian, kendati hak asasi manusia bukan merupakan pemberian dari sesama manusia, masih ada saja pelanggaran hak asasi yang dibuat olah manusia kepada manusia lain. Di berbagai negara, pelanggaran terhadap hak asasi manusia kerap terjadi dan tidak dapat terhindarkan. Hal ini termasuk salah satu permasalahan besar semua negara di dunia dan sangat sulit untuk diatasi. Di indonesia sendiri sebagaimana kita ketahui, pelanggaran HAM terjadi hampir di setiap daerah, contohnya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh tahun 1989-2005. Tahun 1989 – 1998, pemerintah memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), CoHA (2002-2003), DM I, DM II dan DS (2003-2005). Sepanjang masa itu telah terjadi pembunuhan, penyiksaan, penghilangan, pemerkosaan dan pelecehan seksual, perampasan harta benda, pembakaran, pengusiran terhadap warga sipil. Kasus tergolong besar diantaranya Kasus Tgk Bantaqiah, Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo dari ratusan kasus yang dilaporkan. Laporan terakhir Kontras menyatakan masyarakat, TNI, PMI, dan AMM ikut melakukan penggalian kuburan sepanjang 2005-2007 sebanyak 41 kuburan telah dibongkar berisi 61 kerangka yang diduga korban konflik. Hal ini tentu masih sangat kuat melekat dalam ingatan kita, bagaimana masyarakat Aceh saat itu dicekam perasaan takut dan tidak aman. Sekitar 3.000 kasus pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) yang terjadi di masa konflik sejak tahun 1989-2005, hingga kini belum ada proses hukum. Padahal, dalam MoU Helsinki telah diamanatkan bahwa ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkapkan fakta-fakta kebenaran terhadap para korban konflik.

Makalah ini akan membahas seputar kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, hak apa saja yang dilanggar,siapa yang melakukan pelanggaran, dan apa solusi yang harus dilakukan agar masyarakat yang dilanggar Haknya bisa kembali mendapatkan haknya yang telah dilanggar itu.

Pendekatan Teori

Hak asasi manusia merupakan ciri terkhir dari demokrasi. Suatu negara akan disebut negara yang bermartabat apabila negara tersebut memberikan penghargaan terhadap hak asasi manusia.Teori tentang HAM pada awalnya bermula dari Magna Charta. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.

Kemudian Padatahun 1628, muncul Petition of Rights yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut : Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan, Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya, Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.

Perkembangan selanjutnya dicetuskan Hobeas Corpus Act yang merupakan undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan dan Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
Kemdian, pada tahun 1689 dicetuskan Bill of Rights yang merupakan sebuah  undang-undang dan diterima parlemen Inggris, yang isinya menjelaskan pola-pola kenagaraan harus patuh terhadap konstitusi.

Di Amerika serikat, perwujutan HAM tertuang dalam Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
·         Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
·         Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
·         Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
·         Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).

Selanjutnya pada 10 desember 1948 PBB mengeluarkan Declaration of Human Rights, disusul 18 tahun kemudian dihasilkan konvenant yang sifatnya lebih mengikat dan resmi serta ada prosedur peward dan punnishment nya. Hasil konvenant tersebut adalah: Universal Declaration of Human Rights; International Convenant on Civil and Political Rights; International Convenat of Economic, Socoal and Cultural Rights; Protoconal Option on Civil ang Political Rights; dan Protoconal Option II.

Di Indonesia sendiri, Hak Asasi Manusia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila.  Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni: Undang – Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,dan  Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
a.       Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, bebas dari ancaman, dan kebebasan bergerak.
b.      Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
c.       Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
d.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
e.       Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
f.       Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.
  
Pembahasan

Pelanggaran HAM di Aceh

Di Indonesia, masalah HAM seperti bertolak belakang,masih saja terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM di sejumlah daerah yang belum terselesaikan. Konvenant-konvenant maupun deklarasi serta undang-undang tentang HAM yang ada di republik ini seakan tidak dapat membendung terjadinya kasus pelanggaran HAM. Lantas sistem punishment yang seharusnya diterapkan belum juga dilaksanakan secara maksimal.

Kasus Aceh misalnya, Semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Operasi militer yang digelar oleh pemerintah Indonesia di Aceh sejak tahun 1976-2005 untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka, dengan berbagai bentuk operasi militer yang diterapkan mulai dari penerapan Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM), Darurat Sipil I (DS I) dan Darurat Sipil II (DSII), di Aceh telah mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang tak berdosa. Tahun 1989 – 1998, Sepanjang masa itu pelanggaran HAM berat terhadap warga Aceh banyak dijumpai, mulai dari penagkapan, penyiksaan, ada yang dibunuh dan mayatnya entah kemana, pemerkosaan ,perampasan harta benda, dan pengusiran secara paksa oleh oknum Aparat keamanan Indonesia seperti TNI, Polri, Intelijen, dan Milisi. Kasus tergolong besar diantaranya Kasus Tgk Bantaqiah, Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo dari ratusan kasus yang dilaporkan.

Sederetan kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh dan menyisakan luka yang sangat mendalam. Kasus ini jelas melanggar konvenat yang dikeluarkan PBB dan bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia tentang HAM. Dapat kita lihat bahwa banyak hak yang dilanggar disini, hak hidup, hak kebebasan, hak atas kepemilikan harta benda, hak kebebasan dari rasa takut serta hak mendapatkan perlindungan hukum. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, dan tidak adanya rehabilitasi atas dampak konflik yang dialami korban.

Sebagaimana kita ketahui, para korban konflik mengalami kerugian yang sangat besar yang telah membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap kelangsungan hidupnya ke depan. Penyiksaan, trauma masa lalu, kehilangan orang yang dicintai, hilangnya pekerjaan, kondisi kesehatan yang buruk, pengorbanan atas harta benda, pencemaran nama baik, perkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang sampai kapanpun tidak bisa ditolerir dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.

Untuk kasus pembantaian Tgk. Bantaqiah diselesaikan dengan pengadilan koneksitas. Namun pelaku Letkol. Sujono dinyatakan hilang. Sementara ratusan kasus pelanggaran HAM lainnya termasuk Kasus Simpang KKA dan Kasus Arakundo  belum sama sekali diproses. dikarenakan Kejaksaan masih enggan mengusut tuntas laporan Komnas HAM karena menunggu DPR memutuskan membentuk pengadilan ad hoc untuk pelanggaran HAM berat terlebih dahulu.Tidak ada kejelasan apakah pengadilan HAM untuk Aceh bersifat retroaktif, dan mekanismenya berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di indonesia atau berdasarkan pengadilan HAM internasional, Lemahnya peran Komnas HAM karena kuatnya isue separatis di Aceh, dan Ketiadaan Perpres atau Perpu untuk pengadilan HAM dan KKR Aceh

Pelanggaran di Aceh belum di Tangani secara Serius
Hingga empat tahun usia perdamaian Aceh, pemerintah Aceh tidak serius menangani persoalan kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh. Buktinya, semua qanun yang pernah dibuat oleh eksekutif dan legilatif hingga akhir pemerintahan legislative yang lama pada 30 September lalu, tak ada satupun produk hukum yang memuat penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa di Aceh. Pemerintah Aceh saja belum serius menangani persoalan pelanggaran HAM, apalagi pemerintah pusat, hal tersebut dikarenakan, upaya penyelesaikan kasus pelanggaran HAM (termasuk penghilangan orang secara paksa) yang dilaklukan oleh pemerintah tidak semata-mata dilandaskan oleh prinsip hukum. Melainkan upaya itu lebih menjurus kepada politik dan pemenuhan kepentingannya yang sulit diketahui oleh masyarakat luas.
Kini dengan adanya parlemen baru, agar penghuni parlemen Aceh  yang baru dapat menciptakan produk-produk hukum yang selaras dengan upaya penyelesaian kasus tersebut. Apalagi kalangan Partai Aceh yang berkomitmen merealisasikan butir-butir MoU Helsinki merupakan penghui mayoritas di parlemen tersebut. Aktifis Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia mengakui, para keluarga korban penghilangan orang secara paksa di Aceh tidak semestinya terlalu bergantung kepada Komnas HAM sebagai lembaga independent pemerintah yang memiliki mandate untuk mengadvokasi kasus pelanggaran HAM di Aceh. Pasalnya, mereka kerap mengkambing hitamkan keterbatasan mandate untuk menindak lanjuti berbagai kasus yang ada. Akibatnya, tidak sedikit kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh belum teradili.
Karenanya, keluarga korban juga harus mendapatkan dukung politik dari pemerintah. Sebut saja seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini terkait pelanggaran HAM di tanjung Priuk. Berkat desakan keluarga korban, DPR RI mengelurkan rekomendasi pembentukan pengadilan Ad Hoc dan menuntut presiden untuk serius menyikapi kasus ini. Hal ini bisa dilakukan oleh keluarga korban di Aceh dengan terus mendesak DPR Aceh melalui berbagai hal.

Pandangan Kedepan

Hal yang harus dilihat kedepan adalah bagaimana agar masyarakat Aceh yang dilanggar hak nya mendapatkan haknya kembali. Kedepan, penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM tentu harus lebih ditingkatkan, terutama oleh pemerintah Indonesia sebagai regulator dan sebagai pengelola Negara, hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban secara khusus, dan kepada masayarakat Indonesia secara umum, hal ini juga diharapkan akan menjadi pelajaran berarti bagi semua masyarakat dan penyelenggara negara, untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas.

Diperlukan rekonsiliasi nasional, sebagai agenda penegakan hak asasi manusia saat ini, jalan ‘rekonsiliasi nasional’ kita perlukan bukan untuk maksud ‘melupakan’ (to forget), melainkan untuk mengintegrasikan kembali semua anak bangsa yang tersingkirkan, terkotak-kotak atau terpolarisasi akibat sistem politik otoriter di masa lalu.

Bukan hanya rekonsiliasi nasional yang harus dilakukan, namun diperlukan kemauan yang kuat dari pemerintah dan berbagai pihak dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM ini, ditingkat daerah, seperti di Aceh pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM ini, melaksanakan institusionalisasi instrumen penanganan masalah HAM, misalnya dengan membentuk dan merumuskan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena dalam UU tentang Pengadilan HAM, Eksistensi lembaga KKR dalam UU Pengadilan HAM tersebut tercantum dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2). Komisi yang akan dibentuk dengan UU tersendiri dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang ditetapkan dengan UU bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau. Sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan pengungkapan kebenaran. Pelaku yang terkait dengan permasalahan ini harus diperiksa dan diadili sesuai hukum yang berlaku.

Kesimpulan

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki manusia dan bersumber dari Tuhan. Hak tersebut bukan diberikan oleh negara maupun oleh sesama manusia. Oleh karena itu penghormatan terhadap HAM haruslah dijunjung tinggi, manusia bermartabat tidak berhak melakukan pelanggaran HAM terhadap manusia lain. Pelanggaran yang dilakukan akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikaian pelanggara HAM masih marak terjadi. Kasus Aceh misalnya. Sejak dideklarasikan adanya Gerakan Aceh Merdeka, Aceh menjadi daerah dengan potenti pelanggaran HAM yang tinggi. Pemberlakuan DOM di Aceh melahirkan pelanggaran HAM berat, dari mulai penggusuran,penculikan,penyiksaan, penghilangan paksa, sampai ke pembunuhan terjadi mulai tahun 1989 sampai 2005. Hal ni menyisakan trauma yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Untuk itu diperlukan upaya-upaya agar masyarakat Aceh yang telah dilanggar haknya bisa mendapatkan haknya kembali. Upaya itu dapat dlakukan dengan jalan rekonsiliasi.
  

Daftar Pustaka

Budian, Hendra, Tawaran Penyelesaian Masalah HAM Aceh Melalui KKR,


Wijianti, S.Pd. dan Aminah Y., Siti, S.Pd. 2005 “ Kewarganegaraan (Citizenship)”. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

Wikipedia Bahasa Indonesia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Afrika Selatan),


Yusuf Adan, Hasanuddin, Politik dan Tamaddun Aceh, 2006, Adnin Foundation, Aceh.


Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru, Menggugat Dominasi Global Barat, Mizan, Bandung 1995, Hal 198





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritikan Terhadap Teori Talcott Parsons : Fungsionalisme Struktural

Talcott Parsons: Fungsionalisme Struktural                                 Pendahuluan  Di era modernisasi bahwa keilmuan merupakan sarat utama yang harus di miliki oleh manusia agar dapat menjalankan hidup secara dinamis dan kontekstual. Unsur-unsur yang bersifat rasional sangat dijunjung tinggi sebagai pembuktian tentang hal tersebut sehingga dapat dikategorikannya ke dalam sebuah ilmu yang bersifat ilmiah. Berbagai pendekatan dalam kajian dunia keilmuan merupakan hal yang terpenting untuk memperkuat fakta dan data agar dapat dijadikan sesuatu yang empiris berdasarkan rasionalitas manusia. Secara normatif, sesuatu dikatakan sebagai ilmu dalam konteks sekarang salah satunya adalah memiliki teori di dalamnya. Teori berfungsi sebagai pisau analisis dari sebuah keilmuan. Tingkat pengelompokan teori-teori dalam keilmuan pada hakekat dan perkembangannya dibagi ke dalam beberapa bagian sesuai deng...

Ngurus Surat Bebas Narkoba, Surat Sehat dan Surat Tidak Sakit Jiwa di RS Permerintah Medan

Berbagi cerita mengurus surat keterangan bebas Narkoba di Rumah Sakit Umum Pemerintah Pirngadi Medan. Untuk melengkapai berkas pengurusan NIDN saya harus melampirkan beberapa berkas, salah satunya yaitu surat bebas narkoba, surat keterang sehat, dan tidak sakit jiwa. Saya dtg ke RS Pirngadi Medan sekitar pukul 10.00 pagi, saya fikir langsung ke bagian test..ehhhh ternyata saya harus mendaftar dulu ke loket rawat inap yg ada di ujung bangunan rumah sakit..distu saya harus bayar Rp.15.000 untuk mendaftar. Setelah itu naik ke lantai 3 untuk tes bebas narkoba, dtg ke loket tunjukin kertas kuitansi dr yg 15rb td terus nanti nama kita di cetakin barecode, dan di tempelin sprti stiker di wadah kecil untuk menampung air seni, tp sblm itu harus kekasir dulu untuk bayar Rp.160.000. Selesai membayar karna menunggu hasilnya sekitar 1 jam lebih jadi saya putuskan untuk buat surat keterangan sehat. turun lah saya ke lantai 2 dengan menggunakan lift, sampai disana keruangan sus...

Gaya Kepemimpinan Organisasi HMI

                 GAYA KEPEMIMPINAN DI ORGANISASI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM Pendahuluan 1.1   Latar Belakang Mahasiswa adalah seseorang yang belajar/ menuntut ilmu di perguruan tinggi tertentu dan masih terdaftar di perguruan tinggi tersebut. Dengan demikian mahasiswa merupakan kaum intelektual yang memiliki tanggungjawab sosial yang khas sebagai mana yang telah dirumuskan oleh Edward Shill. menurutnya kaum intelektual memiliki lima fungsi yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sedangkan menurut Arbi Sanit mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Berdasar beberapa pendapat di atas tentunya kita selaku mahasiswa harus menyadari fungsi dan perannya di masyarakat, sehingga bisa menempatkan diri secara proporsional sesuai den...