by : Dini Nst
Demokrasi Liberal pertama selakai
diterapkan di Amerika. Tocqueville mengawali penjelasannya dengan konsep
persamaan, equality. Di Amerika, dan
juga banyak negeri Eropa, proses industrialisasi dan komersialisasi yang saat
itu mulai berlangsung dengan pesat telah mengubah struktur interkasi
masyarakat. Feodalisme, sistem sentralisasi kekuasaan, dan aristokrasi sebagai
kelas sosial telah pudar. Sebagai gantinya adlah proses urbanisasi, mobilita
sosial yang tinggi dan semakin tercabutnya manusia modern dari kaitan akar-akar
sosial lama. Dalam rezim lama manusia dikungkung oleh posisi sosialnya yang tak
mungkin berubah. Anak seorang petani akan menjadi petani, berikut semua tribut
sosialnya. Demikian pula, keturunan seorang aristokrat, dengan segala warisan
tanah dan pekerja yang menjadi miliknya. Dengan pudarnya sistem ini, manusia
menjadi individu merdeka, sama dengan individu-individu lainnya, dan terbuka
untuk bersaing dalam kehidupan kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Kalau dalam sistem sebelumnya semua masyarakat diikat oleh jejaring yang sudah
baku, dalam sistem baru inimereka menjadi individu-individu yang bebas memilih:
komunalisme berganti menjadi Individualisme[1].
Sejalan dengan pandangan ini, Bentham
meyatakan bahwa Demokrasi Liberal memiliki tujuan dan pengaruhnya yang khas
melindungi anggota-anggotanya dari penekanan dan penghinaan ditangan para
Fungsionaris yang mempergunakan praktek-praktek tersebut untuk mempertahankan
dirinya (1943,p.47). Pemerintahan demokratis diperlukan untuk melindungi para
warga negara dari penggunaan kekuasaan. Negara perwakilan dengan demikian
menjadi penengah atau wasit sewaktu individu-individu mengejar, sesuai dengan
undang-undang persaingan ekonomi danpertukaran bebas, kepentingan-kepentingan
mereka sendiri dalam masyarakat sipil. Pemungutan suara yang bebas dan pasar
bebas merupakan dua hal yang esensial, sebab kecenderungan pokoknya adalah
bahwa kebaikan kolektif hanya bisa direalisasikan secara tepat kedalam banyak
bidang jika individu-individu berinteraksi dalam pertukaran-pertukaran yang
kompetitif, yakni dengan mengejar kesenangan mereka dengan minimalnya campur
tangan negara, ruang lingkup dan kekuasaannya perlu dilakuakan secara ketat,
maka terdapat suatu komitmen yang kuat untuk menentukan jenis-jenis campur
tangan negara[2].
Liberalisme diartikan sebagai kebebasan,
yang dijunjung tinggi oleh paham liberlis yaitu adanya kebebasan dan
kemerdekaan individu yaitu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memperoleh
kemerdekaan dan lainnya. Dalam sistem pemerintahan terbagi dalam beberapa
kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sistem pemerintahan ini
sama seperti yang diterapkan di Indonesia yaitu kekuasaan eksekutif dipegang
oleh presiden, yudikatif dipegang oleh DPR dan MPR sedangkan yudikatif oleh MA.
Dengan adanya pembagian kekuasaan tersebut sistem politik ini paling tepat
untuk menegakkan demokrasi dan menumbangkan sistem kediktatoran.
Salah satu kelebihan dalam pemerintahan
sistem demokrasi liberal yaitu adanya pemilihan umum untuk pergantian kekuasaan
sehingga kekuasaan dapat berganti secara wajar. Salah satu ciri dari demokrasi
liberal yaitu adanya sistem multi partai, hal ini mengakibatkan aspirasi yang
belum tersalurkan seluruhnya dengan baik, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat
juga terlalu luas sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan. Semenjak
reformasi politik begulir di negeri ini, liberalisasi politik melalui good governance yang bergerak
maju bersama liberalisme ekonomi telah memperbaiki stuktur politik Indonesia
dengan berbagai kebijakan seperti pemilu langsung dan desentralisasi politik.
Kekuasaan ini secara telak menyebarkan kekuasaan ke daerah-daerah untuk
menjauhi pusat. Kebijakan ini merupakan jalan pertama untuk mengurani kekuasaan
pemerintah pusat dan mendekatkannya kepada masyarakat di berbagai daerah. Indonesia
sebagai negara yang sedang belajar
menjalankan sistem demokrasi telah melangkah jauh. Hak-hak formal
masyarakat dalam berpolitik telah dijamin dengan munculnya pemilu langsung,
baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah. Terjadi perubahan signifikan pada
penjaminan hak asasi manusia, terbukanya partisipasi dan kontrol publik.
Demokrasi
Liberal juga dikenal sebagai Demokrasi Parlementer. Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria
bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu
kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan
secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi
setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan
pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya
kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan
tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan
kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5)
pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam
kaitannya dengan hukum[3].
Di indonesia kemiskinan tidak kunjung
padam, masih banyak sekali rakyat kecil yang menderita akibat dari sistem yang
salah, rakyat yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, ini
diakibatkannya adanya kekuasaan individu atau sekelompok orang yang menguasai
hajat hidup orang banyak, dalam hal ini penggunaan dan penerapan sistem
Demokrasi Liberal kurang tepat digunakan di Indonesia dalam hal ekonomi.
Kemenangan demokrasi Liberal hanya dikuasai oleh golongan elit saja dan
golongan menengah yang mampu mengikuti arus perekonomian global. Problem
kesejahteraan masyarakat masih kurang perhatian dalam pemerintah, kehimpitan
dan keterbelakangan masyarakat miskin ataupun golongan bawah masih sangat
terasa, oleh sebab itu pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat,
pendidikan yang baik bagi masyarakatnya. Demokrasi Liberal ini hanya bisa
dinikmati segolongan elit yang memiliki akses untuk turut bermain di dalamnya.
Rakyat kebanyakan menderita dengan segala ketimpangannya, rakyat hanya bisa
berdiri di luar sistem dan tak mampu memanfaatkan demokrasi jenis ini untuk
melakukan perubahan yang berarti bagi diri mereka sendiri.
Selain lemah dalam kesejahteraan
rakyat, penerapan Demokrasi Liberal di
Indonesia juga belum memenuhi tuntutan keadilan rakyat. Banyak kasus di
Indonesia terbukti mengecewakan, beberapa kasus hukum selalu mengalahkan
tuntutan rakyat dan memenangkan penguasa modal. Hukum yang diperjualbelikan
telah membuat nama hukum tercoreng karena petugas hukum dapat dibeli
keadilannya. Dengan lemahnya sistem hukum disuatu negara ini akan menyebabkan
semakin banyaknya koruptor yang akan menguras uang negara, mereka tidak takut
akan perbuatannya karena mereka dapat memperjualbelikan hukum dengan mudah,
yaitu dengan menogok atupun dengan memberikan sejumlah uang kepada aparat
penegak hukum agar melonggarkan kasus dan meringankan hukuman yang akan
dijalani.
Dalam sektor pendidikan sampai sekarang
belum mampu mencapai target anggaran 20%. Hal yang sama menimpa sektor
kesehatan. Pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan pokok rakyat kini
kian sulit diakses. Hal ini disebabkan kedua sektor ini didorong untuk
diprivatisasi. Lembaga pendidikan tinggi negri berkejaran untuk memperoleh
status BHMN. Kemudian di bidang kesehatan semakin banyaknya rumah sakit swasta.
Demokrasi menelantarkan rakyat karena masih banyak persoalan yang tidak bisa
dipecahkan[4].
Dalam hal ini rakyat miskin akan terus tertinggal. Sektor pelayanan publik
memang banyak didirikan seperti sekolah maupun rumah sakit. Akan tetapi
institusi ini akan semakin sulit diakses karena harganya yang mahal. Sama saja dengan rumah sakit yang
memiliki peralatan dan perlengkapan yang canggih dan modern tentu saja biayanya juga pasti akan besar. Kutipan biaya
yang memberatkan ini membuat sektor layanan publik tidak memenuhi kepentingan
rakyat luas melainkan hanya lapisan kelas sosial tertentu. Beban pembiayaan
pada sektor publik ini dilekatkan karena kebutuhan untuk mentaati peraturan
dalam rezim pasar. Demokrasi Liberal lebih mengutamakan kepada rezim pasar.
Kekuasaan selalu berhubungan dengan modal didalamnya. Modal
membuat kekuasaan bukan bertanggung jawab kepada rakyat melainkan terhadap
mekanisme pasar. Pasar memerintah penguasa untuk memunculkan kepuasan-kepuasan
yang memuaskan pasar. Sehingga penerimaan terhadap rezim diukur dari seberapa
jauh pasar memberi sinyal. Pasar berfikir apakah seorang seperti SBY mampu
memperkuat atau memperlemah posisi rupiah. Penguasa dan nilai mata uang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini menyebabkan banyak mentri-mentri yang
berebut kursi-kursi strategis untuk mendapatkan uang. Instrumen modal ini yang
membuat segala produk perundang-undanganmemiliki jiwa liberal. Liberal dalam
artian, kebijakan-kebijakan diambil yang memenuhi nilai-nilai pasar. Dalam hal
ini diperlukan adanya pengawasan sebagai control dalam melakukan dan
menjalankan kekuasaan, namun dalam kenyataannya pengawasan tersebut menjadi
lemah karena sudah berhubungan dengan uang pula. Sistem demokrasi Liberal
memiliki kelemahan dan kelebihan dalam penerapnnya, namun sistem politik ini
belum mengarah kepada prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, masih banyak
keterpurukan terjadi sehingga dapat
dikatakan defisit democracy.
Fungsi-fungsi lembaga politik dapat diperjualbelikan dengan uang sehingga tidak
tercipta pemerintahan yang jujur karena lemahnya kesadaran dan rendahnya sistem
hukum di Indonesia, selain itu juga adanya keinginan individu untuk memperkaya
diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat.
Daftar Pustaka
Alexis De Tocqueville, Revolusi, Demokrasi Dan Masyarakat.
Jakarta: YOI, 2005
David
Held, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan
Kosmopolitan, Jakarta:Pustaka Belajar, 2004
Eko Prasetyo. Demokrasi Bukan Untuk Rakyat. Magelang:
Resist Book, tahun 2005
Robert
A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis;
Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit
Rajawali Pers, Jakarta, 1985
[1] Alexis De Tocqueville, Revolusi,
Demokrasi Dan Masyarakat. Jakarta: YOI, 2005.hal.xiv
[2] David Held, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern Hingga
Pemerintahan Kosmopolitan, Jakarta:Pustaka Belajar, 2004, hal12.
[3] Robert A. Dahl, Dilema
Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora,
penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1985
[4] Eko Prasetyo. Demokrasi Bukan
Untuk Rakyat. Magelang: Resist Book, tahun 2005 hal 95
Komentar
Posting Komentar