KEPEMIMPINAN SOEHARTO
TERHADAP ORGANISASI GOLONGAN KARYA
DAN RAKYAT INDONESIA
1.1 Latar Belakang
Berbicara
tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan erat kaitannya dengan kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini masih membutuhkan
pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang
berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian
kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan
nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam
arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional adalah
keseluruhan komponen bangsa secara hierarkial (state leadership, political and
entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen
bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem
kepemimpinan nasional adalah keseluruhan aktivitas kepemimpinan yang berporos
dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya
kepemimpinan) dan akhirnya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang
berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan,
kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan
pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula
kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan
budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan
kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945, serta memahami karakter dan kultur
bangsa Indonesia.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus
memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari
negarawan adalah seorang pemimpin yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat
ini melalui proses untuk menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai
tujuan nasional dan mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat
melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima,
dipercaya, didukung serta dapat diandalkan.
Salah satu pemimpin nasional yang
pernah berjaya dan diterima oleh masyarakat Indonesia dengan gaya
kepemimpinannya adalah Presiden Soeharto. Sebagai seorang presiden sekaligus
pemimpin organisasi/partai Golongan Karya, Soeharto cukup banyak memberikan
sumbangan kemajuan untuk Bangsa Indonesia. Ia berhasil menjadi presiden dan
menduduki kepemimpinannya selama beberapa periode. Ditangannya, organisasi
dapat dibina dengan baik, ia juga dikenal sebagai Bapak Konseptor. Ia juga
mampu memimpin rakyat Indonesia untuk tumbuh dan berkembang dimasa itu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, masalah
dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gaya kepemimpinan masa Orde
Baru (rezim Soeharto) ?
2. Keberhasilan apa yang dihasilkan dari
gaya kepemimpinan Soeharto?
3. Kegagalan apa yang dihasilkan dari
gaya kepemimpinan Soeharto ?
1.3. Tujuan
Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui gambaran gaya kepemimpinan
masa Orde Baru (rezim Soeharto), keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan
dari gaya kepemimpinan Soeharto dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
kepemimpinan.
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan atau leadership merupakan
ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya
diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak
pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono,
2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain
agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk
membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian
Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang
sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang
berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang
tepat bagi situasi yang khusus.
Dari beberapa definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain,
bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau
kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan
oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok
2.2. Gaya Kepemimpinan
Berikut ini
berbagai teori tentang gaya kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan tulang
punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit
mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin
melaksanakan fungsi kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang
berusaha dipimpinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar (Robert, 1992). James et. al. (1996) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam
proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja.
Pengertian Gaya kepemimpinan menurut Tampubolon (2007) adalah perilaku dan strategi, sebagai
hasil kombinasi dari falsafah, ketrampilan, sifat, sikap, yang sering
diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Berdasarkan
definisi gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang
lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan
sukarela
2.3. Empat Gaya Kepemimpinan
Keempat gaya kepemimpinan berdasarkan
kepribadian adalah :
1. Gaya Kepemimpinan Karismatis
2. Gaya Kepemimpinan Diplomatis
3. Gaya Kepemimpinan Otoriter
4. Gaya Kepemimpinan Moralis
2.3.1. Gaya Kepemimpinan Karismatis
Kelebihan gaya kepemimpinan karismatis ini
adalah mampu menarik orang. Mereka terpesona dengan cara berbicaranya yang membangkitkan
semangat. Biasanya pemimpin dengan gaya kepribadian ini visionaris. Mereka
sangat menyenangi perubahan dan tantangan.
Mungkin, kelemahan terbesar tipe kepemimpinan model ini bisa di analogikan
dengan peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Mereka mampu menarik orang
untuk datang kepada mereka. Setelah beberapa lama, orang–orang yang datang ini
akan kecewa karena ketidak-konsisten-an. Apa yang diucapkan ternyata tidak
dilakukan. Ketika diminta pertanggungjawabannya, si pemimpin akan memberikan
alasan, permintaan maaf, dan janji.
2.3.2. Gaya Kepemimpinan Diplomatis
Kelebihan gaya kepemimpinan diplomatis ini
ada di penempatan perspektifnya. Banyak orang seringkali melihat dari satu
sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan
lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua
sisi, dengan jelas! Apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan
lawannya.
Kesabaran dan kepasifan adalah kelemahan
pemimpin dengan gaya diplomatis ini. Umumnya, mereka sangat sabar dan sanggup
menerima tekanan. Namun kesabarannya ini bisa sangat keterlaluan. Mereka bisa
menerima perlakuan yang tidak menyengangkan tersebut, tetapi
pengikut-pengikutnya tidak. Dan seringkali hal inilah yang membuat para pengikutnya
meninggalkan si pemimpin.
2.3.3. Gaya Kepemimpinan Otoriter
Kelebihan model kepemimpinan otoriter ini
ada di pencapaian prestasinya. Tidak ada satupun tembok yang mampu menghalangi
langkah pemimpin ini. Ketika dia memutuskan suatu tujuan, itu adalah harga
mati, tidak ada alasan, yang ada adalah hasil. Langkah – langkahnya penuh
perhitungan dan sistematis.
Dingin dan sedikit kejam adalah kelemahan
pemimpin dengan kepribadian merah ini. Mereka sangat mementingkan tujuan
sehingga tidak pernah peduli dengan cara. Makan atau dimakan adalah prinsip
hidupnya.
2.3.4. Gaya Kepemimpinan Moralis
Kelebihan dari gaya kepemimpinan seperti
ini adalah umumnya Mereka hangat dan sopan kepada semua orang. Mereka memiliki
empati yang tinggi terhadap permasalahan para bawahannya, juga sabar, murah
hati Segala bentuk kebajikan ada dalam diri pemimpin ini. Orang – orang yang
datang karena kehangatannya terlepas dari segala kekurangannya.
Kelemahan dari pemimpinan seperti ini
adalah emosinya. Rata orang seperti ini sangat tidak stabil, kadang bisa tampak
sedih dan mengerikan, kadang pula bisa sangat menyenangkan dan bersahabat.
2.4. Gaya Kepemimpinan Masa Orde
Baru (Rezim Soeharto)
2.4.1. Biografi Singkat H.M. Soeharto
Jenderal Besar Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto, (lahir di
Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni, 1921 – Jakarta, 27 Januari 2008) adalah
Presiden Indonesia yang kedua, menggantikan Soekarno. Setelah dirawat selama
sekitar 24 hari di rumah sakit, ia meninggal akibat kegagalan multifungsi organ
di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan pukul 13.10 WIB. Secara informal,
"Pak Harto" juga dipakai untuk menyapanya.
Ia mulai menjabat sejak keluarnya Supersemar pada tanggal 12 Maret
1967 sebagai Penjabat Presiden, dan setahun kemudian dilantik sebagai Presiden
pada tanggal 27 Maret 1968 oleh MPRS.
Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden.
Soeharto menikah dengan Siti
Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti
Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi
(Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek).
2.4.2. Gaya Kepemimpinan Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era
Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya
sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah
kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan,
tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta
konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto
merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan
Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan
melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi
yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik
otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan
dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang
politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah
ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan
keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan
sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara
serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa
Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali
terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang
otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang
dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa
awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini
dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan situasi yang selalu tidak
menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Namun,
dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin Soeharto yang bersifat
otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi di Indonesia sudah
banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat
negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh
kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan
cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah
Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap
yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
- Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
- Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
- Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai
dengan masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan Presiden Soeharto di sini
diukur dari aspek-aspek:
(1) Status kepemimpinan dan kekuasaan;
(2) Orientasi pada hubungan;
(3) Orientasi pada tugas;
(4) Cara mempengaruhi orang lain, dan
(5) Kepribadian.
Maka hasil analisis menunjukkan kecenderungan-kecenderungan
sebagai berikut.
2.5. Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah ditampilkan
sebagai seorang individu atau pribadi[3]. Kecenderungan ini secara jelas terlihat
dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden Soeharto
ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden
Soeharto sebagai Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Presiden Soeharto cenderung digambarkan
sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan pemerintah dan negara. Media
cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang lebih suka
berada di lokasi pusat
kekuasaan, di Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering melakukan perjalanan dinas dan
pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri, media lebih sering
menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang dilakukan Presiden
Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media yang demikian diperkuat dengan penggambaran
bahwa ketika di Jakarta Presiden Soeharto lebih sering berada di Istana Negara
atau Istana Merdeka dibanding tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi
sebagai simbol kekuasaan dirinya sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi
pemerintahan, negara, dan organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga
digambarkan sebagai pemimpin yang lebih sering berada di Istana dibanding
di Bina Graha, kantor atau
tempat ia biasanya bekerja.
2.6. Kepemimpinan
Suharto dan Partai Golongan Karya
Partai
Golongan Karya (Partai
Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuahpartai politik di Indonesia. Partai GOLKAR bermula dengan berdirinya
Sekber GOLKAR pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat
untuk menandingi pengaruh Partai Komunis
Indonesia dalam
kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi
Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu.
Dalam Pemilu 1971 (Pemilu
pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan
Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada
Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto
membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan GOLKAR, seperti peraturan
monoloyalitas PNS,
dan sebagainya.
Setelah pemerintahan
Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai
GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan
kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan
Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun
menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan
terhadap pemerintahan Megawati menjadi salah satu sebab para pemilih
di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain
partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum
(Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58%
dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan
tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu
Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi
perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua
dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai
GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak
0,86%.
Golkar pada pemilu 1999 memperoleh suara 22%
suara. Ini merupakan kemerosotan yang jauh sekali dari pada pemilu-pemilu
sebelumnya. Dalam pemilu 1997 Golkar (belum menjadi partai) memperoleh suara
sebanyak 70,2%, sedangkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya juga sekitar 60 sampai
70%. Contohnya, dalam pemilu tahun 1987 Golkar dapat menguasai secara mutlak
299 kursi dalam DPR. Selama Orde Baru, DPR betul-betul dikuasai Golkar dan militer.
Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira
Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI)
menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan
nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan
pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan
politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat.
Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni
yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber
Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi
anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari
organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD
1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga
mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan
tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional
maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya,
disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua
Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor
Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)
I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya,
Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang
menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di
antara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam
Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7
(tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu
1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut,
mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi
peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya
(GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai
sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini,
Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang
remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan
komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang
mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai
pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka
telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan.
GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau
62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di
seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis
tradisional.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya
penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber
GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol
karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan
mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional
(Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum.
Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi,
seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S maka
Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan
militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI,
kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim
militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan
oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa,
jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir
semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina
sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk
lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk
lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan
fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran
strategis.
Setelah Soeharto
mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para
aktivis dan mahasiswa.
2.7. Orientasi pada hubungan
Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden
Soeharto cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau
dalam istilah Likert (1961) disebut “exploitative-authoritative”, kurang
demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke periode berita yang
beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan
dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya
pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam
berita suratkabar juga cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan
hubungan dengan lembaga pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan
lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan
politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati,
walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR,
ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol,
serta pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan
Presiden Soeharto menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para
tokoh dan kalangan perguruan tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga
eksekutif lebih besar dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia
menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.
Presiden Soeharto juga cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif dibanding proaktif. Ia
lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan orang lain
dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal
sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden
Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap
pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang
dipimpinnya
Selain itu juga Presiden Soeharto digambarkan sebagai
pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi
kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya dari periode ke
periode mengalami pasang-surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama
masa jabatan pertama
1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan
politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan
kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi
gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan
meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan,
dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir
kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi
pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau
respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang
lain.
2.8. Orientasi pada tugas
Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai
pemimpin yang lebih sering memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup
pembangunan nasional. Dalam setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang
memberi perhatian khusus pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional
saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering
dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional.
Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional
Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru
itu.
Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan
perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan
diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang
orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media
massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang
pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan.
Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum
terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau
wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga menunjukkan,
Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang
lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor
lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun pada
periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering
dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor
pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering
dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan sektor Politik,
Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik yang paling
jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK).
2.9. Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang
otoriter, yang menerapkan gaya kepemimpinan coercive,
yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi orang lain
dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan
nasional. Demikian pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan
instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto kepada orang lain berisi
permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional selalu
diprioritaskan.
Selain itu, alasan yang juga sering dijadikan
landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika meminta orang lain untuk mematuhi
pesan-pesannya adalah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, upaya
mempertahankan stabilitas politik, upaya menciptakan masyarakat adil dan
makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi, dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta orang lain agar mau
mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih kata-kata atau
kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat netral
dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive atau coercive). Kesan yang dapat
ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah
bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada
masing-masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi
pesan-pesan itu.
Meskipun
demikian, penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa
penjelasan tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong
penggunaan logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima
pesan-pesan yang disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran
pesan-pesannya, ia jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan
manfaat apabila pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu
tidak diikuti. Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya
hanya agar orang lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf
memahami, mencoba, dan memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
2.10. Kepribadian Soeharto
Menurut penulis Presiden Soeharto
adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan
orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan
kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia
tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.
Apabila ia berusaha menonjolkan
diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah
mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa
dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya
yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan
musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa
pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional.
2.11. Keberhasilan dan Kegagalan kepemimpinan
Soeharto
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka
waktu tersebut, kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan
berbagaai kemajuan dan juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang
beliau ambil tergantung kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan
dan kelebihan dari gaya kepemimpinan Soeharto yaitu:
2.12. Keberhasilan
Gaya Kepemimpinan Soeharto
Walaupun terdapat berbagai kekurangan dari pemerintahan Soeharto
tapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahan Soeharto Indonesia
menjadi salah satu negara kaya dan disegani negara lain.
kelebihan
- Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
- Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama
dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde
Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia
mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali
dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan
azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama
ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa
Orde Baru memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang
berantakan di akhir tahun 1960. Namun, dengan menstabilkan politik demi
pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun,
semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi
tempat.
- Swasembada beras
Seperti pepatah From
Zero to Hero itulah kebijakan
yang dilakukan oleh HM. Soeharto pada masa pemerintahannya. Saat itu Indonesia
menjadi pengimpor beras terbesar didunia, namun oleh Soeharto ini dijadikan
motivasi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras dunia. Puncaknya
adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi
kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Prestasi itu membalik
kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu
mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia
memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai
25,8 juta ton.
- Sukses transmigras
- Sukses Program KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
2.13. Kegagalan
Dari Gaya Kepemimpinan
Soeharto
1. Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia
politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan
Indonesia terhadapa modal asing.
Pada
tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi
kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili
pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui
pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi
kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde
Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada
Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar
Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan
kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
2. Eksploitasi
sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
3. Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun
1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
4. Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio
dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi
terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang
banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten
ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik
Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh
rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigra
5. Maraknya korupsi, kolusi, nepotisme
6. Pembangunan Indonesia yang tidak merata
7. Selain itu, timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah,
sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
8. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dirumuskan adalah gaya kepemimpinan Soeharto
secara umum adalah otoriter, dominan, dan sentralistis . Dari periode ke
periode kekuasaan Presiden Soeharto digambarkan Soeharto sebagai Kepala Negara,
sebagai pusat kekuasaan politik di Indonesia. Perilaku kepemimpinan Presiden
Soeharto ada yang berorientasi pada hubungan, tetapi juga ada yang berorientasi
pada tugas. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang berorientasi pada hubungan
digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang otoriter, kurang demokratis,
mengutamakan hubungan dengan para menteri dan pejabat di bawahnya, serta
fleksibel: dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan
kondisi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas direpresentasikan
sebagai gaya kepemimpinan penuh perhatian pada pembangunan dalam lingkup
nasional, tidak membedakan pembangunan daerah perdesaan dan perkotaan meskipun
hanya berorientasi pada pembangunan sektor ekonomi saja. Selain itu, dari
caranya mempengaruhi orang lain, gaya kepemimpinan Presiden Soeharto oleh media
juga digambarkan sebagai gaya yang cenderung otoriter. Meskipun menggunakan
kata-kata atau kalimat netral, tidak bersifat persuasive atau coercice,
dan diikuti dengan penjelasan secukupnya. Sebagai seorang pemimpin, Presiden Soeharto
juga digambarkan sebagai seorang yang tidak suka menonjolkan diri.
Selama 7 periode menjabat sebagai Presiden, banyak keberhasilan
dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan beliau. Berdasarkan
pembahasan di atas, kekurangan darigaya kepemimpinan beliau menghasilkan
eksploitasi sumber daya, diskriminasi terhadap warga Tionghoa, meningkatnya
praktik KKN, pembangunan Indonesia yang tidak merata, dll. Namun, dibalik
kekurangan-kekurangan tersebut masih terdapat kelebihan dari gaya kepemimpinan
beliau diantaranya yaitu perkembangan GDP perkapita Indonesia, kemajuan sektor
migas, swasembada beras,
dsb.
Pertumbuhan ekonomi maju pesat bawah resim soeharto, tapi pada saat yang
sama Indonesia menjadi salah satu Negara paling korup di dunia denan elite
kecil sebbagai penjarah kekayaan Negara. Ini sebuah paradox perkembangan
ekonomi terjadi di Negara yang digerogoti korupsi dna praktek rent-seeking yang
massif, sistematik dan endemik yang seharusnya mengganggu bekerjanya ekonomi
pasar secara substansial. Soeharto belajar dari kegagalan rezim Soekarno yang
berakhir dengan kekacauan ekonomi. Jika Soekarno berkonsentrasi pada
pembangunan Negara bangsa dan meyakini kesuksesan politik mengatasi masalah
ekonomi, maka misi fundamental Soeharto adalah pembangunan ekonomi dengan
membentuk tim teknokrat yang berhasil menstabilkan perekonomian. Ekonomi bisa
tumbuh meskipun pemerintah tidak mengelolanya dengan efisien. Contohnya,
perencanaan ekonomi gaya Uni Soviet berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan
perubahan structural yang pesat akhir 1920-an hingga 1960-an. Salah satu kunci
untuk memahaminya adalah cadangan tenaga kerja yang besar dari sektor pertanian
meskipun produktivitasnya sangat terbatas jika tidak mendekati nol. Transfer
tenaga kerja dari pertanian ke industri mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun
dengan efisiensi statis karena sinyal harga tidak memainkan peran dalam proses
perencanaan. Tetapi untuk mewujudkan proses perkembangan seperti itu dibutuhkan
cara-cara tertentu untuk membiayai pertumbuhan sektor industry. Seidaknya
secara teori, perencanaan sosialis mampu mewujudkannya dengan menghapuskan
properti pribadi dan mengeksploitasi petani melalui proses kolektivisasi
pertanian. Pralel dengan pembangunan ekonomi selama tahun-tahun akhir rezim
Soeharto yang mampu menciptakan cara lain untuk berinvestasi pada sektor-sektor
baru ekonomi modern yang terus berkembang.
DAFTAR
PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Golongan_Karya
By : Atika Rizkiyana
Komentar
Posting Komentar