GAYA KEPEMIMPINAN BARACK OBAMA
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam
praktek sehari-hari, seorang diartikan sama antara pemimpin dan kepemimpinan,
padahal pengertian tersebut berbeda. Pemimpin adalah orang yang tugasnya
memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus dimiliki
seorang pemimpin.
Setiap orang
mempunyai pengaruh atas pihak lain, dengan latihan dan peningkatan pengetahuan
maka pengaruh tersebut akan bertambah dan berkembang. Kepemimpinan membutuhkan
penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam
wujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan lebih dahulu. Dewasa ini
kebanyakan para ahli beranggapan bahwa setiap orang dapat mengembangkan bakat
kepemimpinannya dalam tingkat tertentu. Kepemimpinan
adalah faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi serta manajemen.
Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi.
Konsep
kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di bidang organisasi dan
manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang
pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan
kepemimpinan. Kepemimpinan juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala
perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi
dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi.
Sebelum
memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader)
dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau
organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal
atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan adalah
sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap
anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai
tujuan-tujuannya.
Dalam
kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja,
keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu
organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu
kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kemudian
timbul pertanyaan kepemimpinan apakah yang baik? Apakah hampir semua orang,
bila diajukan pertanyaan itu akan menjawab bahwa kepemimpinan yang efektif
mempunyai sifat atau kualitas tertentu yang diinginkan.
Kemampuan
dan ketrampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting efektifitas
organisasi. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas–kualitas yang
berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin
efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku
dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas
personalis dalam organisasi.
Sehingga
model kepemimpinan yang baik diyakini mampu mengikat,
mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar dapat
bersaing secara baik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Menguraikan
berbagai Model Kepemimpinan dalam organisasi
2. Kepemimpinan
Presiden Barack Obama di tinjau dari teori model kepemimpinan
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
Penulis pada makalah ini adalah:
1. Untuk mengurai berbagai teori model
kepemimpinan
2. Untuk memberikan contoh aplikasi model
kepemimpinan yang di anut oleh seorang presiden, yakni Obama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep
Pemimpin
Kepemimpinan
adalah faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi serta manajemen.
Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini mampu
mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya organisasi agar
dapat bersaing secara baik.
Konsep
kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di bidang organisasi dan
manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang
pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan
kepemimpinan. Kepemimpinan juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala
perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi
dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi.
Sebelum
memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader)
dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau
organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal
atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan adalah
sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap
anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai
tujuan-tujuannya.
Cukup
banyak definisi kepemimpinan yang ditawarkan para ahli di bidang organisasi dan
manajemen. Masing-masing memiliki perspektif dan metodelogi pembuatan definisi
yang cukup berbeda, bergantung pada pendekatan (epistemologi) yang mereka bangun
guna menyelidiki fenomena kepemimpinan.
Stephen
Robbins, misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai “ ... the ability
to influence a group toward the achievement of goals.”
Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai serangkaian
tujuan. Kata “kemampuan”, “pengaruh” dan “kelompok” adalah konsep kunci dari
definisi Robbins.
Definsi
lain, yang cukup sederhana, diajukan oleh Laurie J. Mullins. Menurut
Mullins, kepemimpinan adalah “ ... a relationship through which one
person influences the behaviour or actions of other people.” Definisi
Mullins menekankan pada konsep “hubungan” yang melaluinya seseorang
mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Kepemimpinan dalam definisi
yang demikian dapat berlaku baik di organisasi formal, informal, ataupun
nonformal. Asalkan terbentuk kelompok, maka kepemimpinan hadir guna mengarahkan
kelompok tersebut.
Definisi
kepemimpinan yang agak berbeda dikemukakan oleh Robert N. Lussier dan
Christopher F. Achua. Menurut mereka, kepemimpinan adalah “... the
influencing process of leaders and followers to achieve organizational
objectives through change.” Bagi Lussier and Achua, proses mempengaruhi
tidak hanya dari pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan timbal balik
atau dua arah. Pengikut yang baik juga dapat saja memunculkan kepemimpinan
dengan mengikuti kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu memberikan
umpan balik kepada pemimpin. Pengaruh adalah proses pemimpin mengkomunikasikan
gagasan, memperoleh penerimaan atas gagasan, dan memotivasi pengikut untuk
mendukung serta melaksanakan gagasan tersebut lewat “perubahan.”
Definisi
kepemimpinan juga diajukan Yukl, yang menurutnya adalah “ ... the
process of influencing others to understand and agree about what needs to be
done and how to do it, and the process of facilitating individual and
collective efforts to accomplish shared objectives.” [“... proses
mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta menyetujui apa yang harus
dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses memfasilitasi
upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama.”]
Definisi
kepemimpinan, cukup singkat, diajukan Peter G. Northouse yaitu “ ... is
a process whereby an individual influences a group of individuals to achieve a
common goal.” [“ ... adalah proses dalam mana seorang individu
mempengaruhi sekelompok individu guna mencapai tujuan bersama.”] Lewat definisi
singkat ini, Northouse menggarisbawahi sejumlah konsep penting dalam definisi
kepemimpinan yaitu:
1.
kepemimpinan
merupakan sebuah proses;
2.
kepemimpinan
melibatkan pengaruh;
3.
kepemimpinan muncul
di dalam kelompok;
4.
kepemimpinan
melibatkan tujuan bersama.
Kepemimpinan
adalah suatu konsep yang kompleks sehingga para ahli mengkaji masalah ini dari
aneka sisi. Masing-masing sisi memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Sebagai contoh, penulis seperti Peter G. Northouse membagi pendekatan
kepemimpinan menjadi:
1.
Pendekatan Sifat (Trait);
2.
Pendekatan Keahlian (Skill);
3.
Pendekatan Gaya (Style);
4.
Pendekatan
Situasional;
5.
Pendekatan
Kontijensi;
6.
Teori Path-Goal;
7.
Teori
Pertukaran Leader-Member;
8.
Pendekatan
Transformasional;
9.
Pendekatan Otentik;
10. Pendekatan Tim;
11. Pendekatan Psikodinamik.
Pendekatan
sifat termasuk pendekatan
kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin
itu dilahirkan (given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri
atas atribut tertentu yang melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal,
yang membedakan pemimpin dari pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga
disebut teori kepemimpinan orang-orang besar. Lebih jauh, pendekatan ini juga
membedakan antara pemimpin yang efektif dengan yang tidak efektif. Pendekatan
ini dimulai tahun 1930-an dan hingga kini telah meliputi 300 riset.
Fokus pendekatan
sifat semata-mata pada pemimpin perseorangan. Pemimpin
berbeda dengan pengikut akibat ia punya sejumlah sifat kualitatif yang tidak
dimiliki pengikut pada umumnya. Setelah merangkum studi yang dilakukan oleh
Ralph Melvin Stogdill (1948), Mann (1959), Stogdill (1974), Lord,
DeVader, and Alliger (1986), Kirkpatrick and Locke
(1991) dan Zaccaro, Kemp, and Bader (2004), Peter G. Northouse
menyimpulkan sifat-sifat yang melekat pada diri seorang pemimpin yang melakukan
kepemimpinan (menurut pendekatan sifat) adalah sifat-sifat
kualitatif berikut:
1.
Intelijensi – Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal
kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat ketimbang yang bukan
pemimpin.
2.
Kepercayaan Diri – Kepercayaan diri adalah keyakinan akan kompetensi
dan keahlian yang dimiliki, dan juga meliputi harga diri serta keyakinan diri.
3.
Determinasi – Determinasi adalah hasrat menyelesaikan pekerjaan
yang meliputi ciri seperti berinisiatif, kegigihan, mempengaruhi, dan cenderungmenyetir.
4.
Integritas – Integritas adalah kualitas kujujuran dan dapat
dipercaya. Integritas membuat seorang pemimpin dapat dipercaya dan layak untuk
diberi kepercayaan oleh para pengikutnya.
5.
Sosiabilitas – Sosiabilitas adalah kecenderungan pemimpin untuk
menjalin hubungan yang menyenangkan. Pemimpin yang menunjukkan sosiabilitas
cenderung bersahabat, ramah, sopan, bijaksana, dan diplomatis. Mereka sensitif
terhadap kebutuhan orang lain dan menunjukkan perhatian atas kehidupan mereka.
Sementara
itu, secara kuantitatif, pendekatan sifat memilah indikator
kepemimpinan yang juga dikenal sebagai The Big Five Personality Factors sebagai
berikut:
1.
Neurotisisme– Kecenderungan menjadi depresi, gelisah, tidak aman,
mudah diserang, dan bermusuhan;
2.
Ekstraversi– Kecenderungan menjadi sosiabel dan tegas serta punya
semangat positif;
3.
Keterbukaan– Kecenderungan menerima masukan, kreatif, berwawasan,
dan punya rasa ingin tahu;
4.
Keramahan– Kecenderungan untuk menerima, menyesuaikan diri,
bisa dipercaya, dan mengasuh; dan
5.
Kecermatan– Kecenderungan untuk teliti, terorganisir,
terkendali, dapat diandalkan, dan bersifat menentukan.
Kelima
faktor yang dapat dikuantifikasi di atas, lewat sejumlah riset, punya korelasi
kuat dengan kepemimpinan-kepemimpinan tertentu di dalam organisasi.
Pendekatan
Keahlian punya fokus yang sama dengan pendekatan sifat yaitu
individu pemimpin. Bedanya, jika pendekatan sifat menekankan
pada karakter personal pemimpin yang bersifat given by God,
maka pendekatan keahlian menekankan pada keahlian dan
kemampuan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun yang ingin
menjadi pemimpin organisasi.
Jika pendekatan
sifat mempertanyakan siapa saja yang mampu untuk menjadi
pemimpin, maka pendekatan keahlian mempertanyakan apa
yang harus diketahui untuk menjadi seorang pemimpin. Definisi pendekatan
keahlian adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan
kompetensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai seperangkat tujuan. Keahlian,
menurut pendekatan keahlian dapat dipelajari, dilatih, dan
dikembangkan.
Pendekatan
Keahlian terbagi dua : (1) Keahlian Administratif Dasar, dan
(2) Model Keahlian Baru. Keahlian Administratif Dasar terdiri
atas penguasaan dalam hal: Teknis, Manusia, dan Konseptual.
Keahlian
Administratif Dasar. Kepemimpinan banyak
didasari oleh tiga keahlian administrasi dasar yaitu: teknis, manusia, dan
konseptual. Keahlian-keahlian ini berbeda sesuai sifat dan kualitas seorang
pemimpin.
1. Keahlian Teknis. Keahlian ini
merupakan pengetahuan mengenai dan kemahiran atas jenis pekerjaan tertentu.
Keahlian ini meliputi kompetensi-kompetensi di area spesialisasi tertentu,
kemampuan analitis, dan kemampuan menggunakan alat dan teknik yang tepat.
Contoh, di perusahaan software komputer, keahlian teknis dapat
meliputi pengetahuan bahasa program dan bagaimana memprogramnya, serta
memastikan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para klien.
2. Keahlian Manusia. Keahlian
Manusia adalah pengetahuan mengenai dan kemampuan bekerja dengan orang lain.
Keahlian ini beda dengan keahlian teknis, di mana keahlian manusia berorientasi
manusia, sementara keahlian teknis berorientasi benda.
3. Keahlian Konseptual.
Keahlian konseptual adalah kemampuan untuk bekerja dengan
gagasan-gagasan dan konsep-konsep. Jika keahlian teknis bicara tentang kerja
dengan benda, keahlian manusia bicara tentang kerja dengan manusia, maka
keahlian konseptual bicara tentang kerja dengan ide atau
gagasan. Pemimpin yang punya keahlian konseptual merasa nyaman
tatkala bicara tentang ide yang membentuk suatu organisasi dan dapat melibatkan
diri ke dalamnya. Mereka mahir menempatkan tujuan organisasi ke dalam kata-kata
yang bisa dipahami oleh para pengikutnya.
Model
Keahlian Baru. Model Keahlian
Baru dikenal juga dengan nama Model Kapabilitas. Model ini
menguji hubungan antara pengetahuan dan keahlian seorang pemimpin dengan
kinerja yang ditunjukkan oleh pemimpin tersebut dalam memimpin.
Pendekatan gaya kepemimpinan menekankan pada
perilaku seorang pemimpin. Ia berbeda dengan pendekatan sifat yang
menekankan pada karakteristik pribadi pemimpin, juga berbeda dengan pendekatan
keahlian yang menekankan pada kemampuan administratif pemimpin. Pendekatan gaya
kepemimpinan fokus pada apa benar-benar dilakukan oleh pemimpin dan
bagaimana cara mereka bertindak. Pendekatan ini juga memperluas kajian
kepemimpinan dengan bergerak ke arah tindakan-tindakan pemimpin terhadap anak
buah di dalam aneka situasi.
Pendekatan
ini menganggap kepemimpinan apapun selalu menunjukkan dua perilaku umum :
(1) Perilaku Kerja, dan (2) Perilaku Hubungan. Perilaku
kerja memfasilitasi tercapainya tujuan: Mereka membantu anggota
kelompok mencapai tujuannya. Perilaku hubungan membantu
bawahan untuk merasa nyaman baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun
dengan situasi dimana mereka berada. Tujuan utama pendekatangaya
kepemimpinan adalah menjelaskan bagaimana pemimpin mengkombinasikan
kedua jenis perilaku (kerja dan hubungan) guna mempengaruhi bawahan dalam
upayanya mencapai tujuan organisasi.
Pendekatan gaya kepemimpinan secara singkat
direpresentasikan oleh tiga riset yang satu sama lain berbeda. Pertama,
riset Ohio State University yang diadakan di akhir 1940-an
lewat karya Stogdill (1948), yang memberi perhatian yang lebih dari sekadar
sifat dalam mengkaji kepemimpinan. Kedua, riset yang diadakan
di University of Michigan yang mengeksplorasi bagaimana
kepemimpinan menjalankan fungsinya di dalam kelompok kecil. Ketiga,
riset yang diawali oleh Blake dan Mouton di awal 1960-an yang mengeksplorasi
bagaimana manajer menggunakan perilaku kerja dan hubungannya dalam konteks
organisasi.
Kelompok
riset di Ohio State University yakin bahwa dengan memposisikan
kepimpinan sebagai sifat personal akan kurang berhasil dalam menganalisis
fenomena kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis bagaimana
individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau
organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner
yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus
mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu.
Kuesioner
tersebut terdiri atas 1800 pertanyaan yang menggambarkan aneka aspek berbeda
dari perilaku seorang pemimpin. Dari daftar panjang tersebut, diformulasikanlah
150 pertanyaan yang kemudian dikenal sebagai Leader Behavior
Description Questionnaire (LBDQ). LBDQ diberikan kepada pada ratusan
orang di bidang pendidikan, militer, dan industri, dan hasilnya menunjukkan
bahwa kelompok perilaku tertentu adalah khas seorang pemimpin. Enam tahun
kemudian, R.M. Stogdill mempublikasikan versi ringkas LBDQ yang disebut
LBDQ-XII, yang menjadi kuesioner yang paling banyak digunakan dalam riset
kepemimpinan.
Para
peneliti menemukan bahwa tanggapan bawahan atas pimpinan dalam kuesioner yang
mereka isi mengelompok pada dua tipe umum perilaku pimpinan.Pertama,
struktur prakarsa yaitu sejauh mana seorang pemimpin mendefinisikan serta
menentukan peran-peran para bawahan dalam rangka merancang dan memenuhi tujuan
di area pertanggungjawabannya. Gaya ini menekankan pengarahan kegiatan
pekerja dalam tim ataupun individu lewat perencanaan, pengkomunikasian,
penjadualan, penugasan pekerjaan, penekanan deadline, dan pemberian
perintah. Pemimpin memelihara standard kinerja yang ketat dan
berharap bawahan memenuhinya.
Dampak
positif dari pemimpin yang mengaplikasikan Struktur Prakarsa atas
produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala : (1) penekanan yang tinggi
atas hasil dilakukan oleh orang lain selain dari pemimpin; (2) pekerjaan
memuaskan pekerja; (3) pekerja bergantung pada pemimpin atas informasi dan
arahan seputar bagaimana menyelesaikan pekerjaan; (4) pekerja secara psikologis
dapat dipengaruhi lewat pemberian instruksi seputar dalam hal apa saja yang
harus dilakukan dan bagaimana melakukannya; dan (5) lebih dari 12 pekerja
melapor secara intens kepada pemimpin.
Kedua,
perilaku perhatian yang pada
dasarnya sama dengan perilaku hubungan. Perilaku perhatian adalah
sejauh mana pemimpin punya hubungan dengan bawahan yang dicirikan oleh sikap
saling percaya, jalinan komunikasi dua arah, respek pada gagasan pekerja, dan
empati atas perasaan mereka. Gaya ini menekankan pada pemuasan kebutuhan
psikologis pekerja. Pemimpin umumnya menyediakan waktu untuk mendengar,
berkeinginan melakukan perubahan nasib pekerja, mengupayakan
kesejahteraan pribadi para pekerja, bersahabat, dan mudah didekati. Derajat
perhatian yang tinggi ini mengindikasikan kedekatan psikologis antara pimpinan
dan bawahan; derajat perhatian yang rendah menunjukkan jarak psikologis yang
lebar dan pimpinan lebih impersonal (kurang manusiawi).
Dampak
manfaat dari pemimpin yang menunjukkan perilaku perhatian atas
produktivitas dan kepuasan kerja muncul tatkala (1) tugas bersifat rutin dan
sedikit mengabaikan pekerja; (2) bawahan terpengaruh oleh kepemimpinan yang
partisipatif; (3) anggota tim harus belajar sesuatu yang baru; (4) pekerja
merasa keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan memperoleh
dukungan dan berdampak atas hasil kinerja mereka; dan (5) pekerja merasa bahwa
perbedaan status yang nyata antara mereka dengan pimpinan seharusnya tidak ada.
Titik
tekan riset di University of Michigan adalah eksplorasi
perilaku kepemimpinan, yang memberikan perhatian khusus utamanya pada dampak
perilaku pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.
Riset di University of Michigan mengidentifikasi
dua jenis perilaku kepemimpinan.Pertama, orientasi pekerja yaitu
perilaku pemimpin yang mendekati bawahan dengan penekanan hubungan manusia yang
kuat. Mereka menaruh perhatian pada pekerja sebagai makhluk hidup, menghargai
individualitas mereka, dan memberi perhatian khusus atas kebutuhan pribadi
mereka. Kedua, orientasi produksi, terdiri atas perilaku pemimpin
yang menekankan pada aspek teknis dan produksi dari suatu pekerjaan. Dari
orientasi ini, pekerja dilihat sebagai alat guna menyelesaikan pekerjaan.
Robert
R. Blake and Jane S. Mouton tahun 1991 mengembangkan
suatu grid (kisi-kisi) kepemimpinan guna menunjukkan bahwa
pemimpin dapat membantu organisasi mencapai tujuannya lewat dua orientasi,
yaitu : (1) Perhatian atas Produksi dan (2) Perhatian
atas orang. Kedua orientasi ini mencerminkan kembali perilaku
kerja dan perilaku hubungan seperti terjadi di
riset Ohio State University.
Dengan
menggunakan grid (kisi-kisi), Blake dan Mouton menciptakan 5
gaya kepemimpinan. Gaya-gaya tersebut adalah:
1) Gaya
Taat Otoritas (Authority-Compliance)
Gaya
ini menggambarkan pemimpin yang dikendalikan oleh pencapaian hasil atau target,
dengan sedikit atau bahkan tidak ada perhatian pada manusia kecuali dalam
rangka keterlibatan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan. Komunikasi pemimpin
dengan pengikutnya terbatas dan diadakan sekadar untuk memberi instruksi
pekerjaan. Pemimpin-pemimpin ini bercorak pengendali, pengarah, terlalu kuat,
dan penuntut. Mereka bukan kolega kerja yang menyenangkan. Sejumlah penelitian
menunjukkan tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi dengan gaya kepemimpinan
semacam ini.
2) Gaya
Country-Club
Gaya
country-club menggambarkan
pemimpin dengan perhatian tinggi pada orang tetapi rendah perhatiannya pada
hasil atau produksi. Pemimpin ini fokus pada pemenuhan kebutuhan pekerja
sebagai manusia dan penciptaan lingkungan yang kondusif dalam pekerjaan.
Keluar-masuk karyawan menurun di bawah pemimpin bergaya ini.
3) Gaya
Lemah (Impoverished Management)
Gaya
lemah menggambarkan pimpinan yang
punya sedikit perhatian baik atas orang ataupun produksi. Pemimpin bergaya ini
berlaku sebagai pemimpin tetapi sesungguhnya terasing dan tidak melibatkan diri
dalam organisasi. Pemimpin ini kerap punya sedikit hubungan dengan pengikut dan
dapat saja dianggap tidak peduli, tidak tegas, pasrah, dan bersikap masa bodoh.
Umumnya kita mengenalnya dengan laissez faire.
4) Gaya Middle-of-the-Road (Gaya Jalan
Tengah)
Gaya
jalan tengah menggambarkan
pemimpin yang kompromistik, yang punya perhatian menengah atas pekerjaan dan
perhatian tengah atas orang-orang yang melakukan pekerjaan. Pemimpin
menghindari konflik dan menekankan pada tingkat produksi serta hubungan
personal yang moderat. Gaya kepemimpinan ini kerap digambarkan sebagai orang
yang bijaksana, lebih suka berada di tengah, samar pendirian dalam minat atas
kemajuan organisasi, dan sulit menyatakan ketidaksetujuannya di hadapan
pekerja.
5) Gaya
Manajemen Tim
Gaya
manajemen tim memberi tekanan
seimbang, baik pada pekerjaan ataupun hubungan antarpersonal. Gaya ini
mendorong derajat partisipasi dan kerja tim yang tinggi di dalam organisasi
sehingga mampu memuaskan kebutuhan dasar pekerja agar mereka tetap merasa
terlibat dan punya komitmen kuat dalam pekerjaannya. Kata yang dapat
menggambarkan pemimpin yang menerapkangaya manajemen tim adalah :
menstimulir, partisipatif, penentu tindakan, pembuka isu, penjelas prioritas,
pembuat terobosan, bersikap terbuka, dan penikmat pekerjaan.
6) Paternalistik/Maternalistik
Gaya
manajemen tim mengintegrasikan
perhatian tinggi atas pekerja sekaligus dan pekerjaan. Namun, mungkin pula ada
pemimpin yang menerapkan secara sekaligus, baik perhatian tinggi pada orang
maupun perhatian tinggi pada produksi, tetapi tidak dengan cara yang
integratif. Pemimpin seperti ini berpindah dari gaya taat otoritas menjadi gaya
country-club bergantung pada situasi. Mereka biasa disebut diktator
yang murah hati, karena mereka bertindak ramah pada pekerja hanya agar pekerjaan
selesai, untuk kemudian berpindah kembali menjadi diktator yang
sesungguhnya. Gaya ini disebut paternalistik/maternalistik, dan
pemimpin bergaya ini melakukannya karena memandang pekerja tidak terkait dengan
pencapaian tujuan organisasi. “Orang ya orang, kerjaan ya kerjaan. Beda.”
7) Oportunis
Gaya
oportunis merujuk pada pemimpin yang
secara oportunistik menggunakan aneka kombinasi dari 5 gaya “resmi” (nomor
1 s/d 5) guna meningkatkan karier mereka.
Black and Mouton
menandaskan bahwa pemimpin biasanya punya satu gaya yang dominan dan satu gaya
cadangan. Pemimpin berpindah ke gaya cadangan tatkala gaya dominan tidak
efektif dan mereka tengah berada di bawah tekanan berat. Guna meringkas ketiga
riset yang telah dipaparkan, maka ada baiknya dimuat ikhtisar berupa taksonomi
yang disusun oleh Rowe and Guerrero sebagai berikut:
Riset
|
Perilaku Kerja
|
Perilaku Hubungan
|
Ohio State University
|
Struktur Penyusunan
Pengorganisasian pekerjaan
Penentuan struktur kerja
Penentuan tanggung jawab
Penjadualan kegiatan
|
Perhatian
Pembangunan respek, kepercayaan, kesukaan, dan
kesetiakawanan pemimpin dan pengikut
|
University of Michigan
|
Orientasi Produksi
Penekanan aspek teknis
Penekanan aspek produksi
Pekerja dilihat sebagai alat agar pekerjaan selesai
|
Orientasi Pekerja
Pekerja dilihat lewat aspek hubungan manusia yang
kuat
Pemimpin memperlakukan pekerja selaku makhluk hidup,
menghargai individualitas pekerja, memberi perhatian pada kebutuhan pekerja
|
Blake dan Mouton
|
Perhatian atas Produksi
Penyelesaian tugas; Pembuatan keputusan;
Pengembangan produk baru; Optimalisai proses; Maksimalisasi beban kerja;
Peningkatan volume penjualan
|
Perhatian atas Manusia
Melayani orang; Membangun komitmen dan kepercayaan;
Mempromosikan nilai pribadi pekerja; Menyediakan
kondisi kerja yang baik; Memelihara upah/keuntungan yang adil;
Mempromosikan hubungan sosial yang baik
|
2.7. Pendekatan
Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional adalah
pendekatan yang paling banyak dikenal. Pendekatan ini dikembangkan oleh Paul
Hersey and Kenneth H. Blanchard tahun 1969 berdasarkan Teori
Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J. Reddin tahun 1967.
Pendekatan kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena
kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Premis dari pendekatan ini
adalah perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu menyesuaikan
gaya mereka terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan
bahwa kepemimpinan terdiri atas dimensi arahan dan dimensi
dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara tepat dengan memperhatikan
situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi
khusus, pemimpin harus mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa
kompeten dan besar komitmen pekerja atas pekerjaan yang diberikan.
Dengan
asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di setiap waktu,kepemimpinan situasional menyarankan
pemimpin untuk mengubah tinggi-rendahnya derajat tatkala mengarahkan atau mendukung para
pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga berubah. Dalam
pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang
efektif adalah mereka yang mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk
kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan
pekerja tersebut.
Kepemimpinan situasional menyediakan empat
pilihan gaya kepemimpinan. Keempat gaya tersebut melibatkan aneka kombinasi
dari Perilaku Kerja dengan Perilaku Hubungan. Perilaku
Kerja meliputi penggunaan komunikasi satu-arah, pendiktean tugas, dan
pemberitahuan pada pekerja seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan,
kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin yang efektif menggunakan tingkatperilaku
kerja yang tinggi di sejumlah situasi dan hanya sekedarnya di situasi
lain.
Perilaku
hubungan meliputi penggunaan
komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses
pengambilan keputusan, serta memberikan dukungan emosional pada mereka. Perilaku
hubungan juga diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Dengan
mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan derajat
tertentu perilaku hubungan, pemimpin yang efektif dapat memilih
empat gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu:
1.
Pemberitahuan
2.
Partisipatif
3.
Penjual
4.
Pendelegasi
Bagan
dari keempat jenis gaya kepemimpinan situasional kami
sampaikan pula.
Menurut
model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi sebelum memutuskan gaya
kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi situasional pada model
adalah derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah
kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berhubungan dengan pekerjaan
secara maksimal tetapi mampu dicapai dan keinginan mereka untuk memikul
tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut,
melainkan bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin
punya kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan, tetapi tidak
dipekerjaan lainnya. Kesiapan pengikut juga bergantung pada
seberapa banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka
pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak
pengalamannya, dan seterusnya.
Gaya
Pemberitahu adalah gaya
pemimpin yang selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta
mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Gaya Pemberitahu membantu
untuk memastikan pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal,
dan akan menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa
datang.
Gaya
Penjual adalah gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan, mengupayakan
komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi dan rasa percaya diri
pekerja. Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut dalam
melakukan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap
membimbing akibat pekerja belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas
pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai menunjukkan perilaku dukungan guna
memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus memelihara antusiasme mereka.
Gaya
Partisipatif adalah gaya
pemimpin yang mendorong pekerja untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus
memfasilitasi pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka
mau membantu pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri
dalam melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap
sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini
melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta
siap membantu pengikutnya.
Gaya
Pendelegasi adalah gaya
pemimpin yang cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan
keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada
tingkat kesiapan tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya.
Gaya ini efektif karena pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh
untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya.
2.8. Pendekatan
Teori Kepemimpinan Kontijensi (Ketidakpastian)
Teori
Kontijensi dalam kajian kepemimpinan
fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi
serta pola-pola perilaku kepemimpinan. TeoriKontijensi didasarkan
atas keyakinan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka
situasi.
Teori Kontijensi punya
beberapa model, yang menurut Laurie J. Mullins terdiri atas:
1.
Model Kontijensi Fred
Edward Fiedler yang menekankan pada Situasi Kepemimpinan yang Cocok;
2.
Model Kontijensi dari
Victor Harold Vroom and Philip W. Yetton serta Victor Harold
Vroom and Arthur G. Jago yang menekankan pada Kualitas dan
Penerimaan atas Keputusan Pemimpin;
3.
Teori Path-Goal dari
Robert J. House serta Robert J. House and Gary Dessler;
4.
Kedewasaan Pengikut dari Paul Hersey and Kenneth H.
Blanchard.
Untuk Teori
Path-Goal akan dibahas dalam sub bahasan tersendiri.
Model Kontijensi Fiedler
menekankan pada teori kontijensi tentang efektivitas kepemimpinan. Model ini
didasarkan atas studi-studi yang cukup luas seputar situasi-situasi yang
dihadapi kelompok dalam organisasi. Konsentrasinya pada hubungan antara
kepemimpinan dengan kinerja organisasi. Untuk mengukur sikap seorang pemimpin,
Fiedler mengembangkan skala Least Preferred Co-worker (LPC).
Skala ini mengukur rating yang diberikan atas para pemimpin oleh orang-orang
yang bekerja sama dengannya. Khususnya, pertanyaan ini tertuju pada hal siapa
di antara mereka paling bisa memimpin secara baik.
Kuesioner
yang dikembangkan terdiri atas 20 item. Contoh dari item tersebut misalnya Menyenangkan/Tidak
Menyenangkan, Bersahabat/Tidak Bersahabat, Mendukung/Membuat
Frustrasi, Jauh/Dekat, Bekerja Sama/Tidak Bekerja Sama, Membosankan/Menarik,
Terbuka/Tertutup, dan sejenisnya.
Setiap
item lalu diberi peringkat antara 1 hingga 8, dengan angka 8 mengindikasikanrating yang
paling cocok. Contohnya skalanya sebagai berikut:
Skor
LPC adalah total rating angka total seluruh item Least Preffered
Co-worker. Semakin kecil rating LPC dan semakin cocok kepemimpinan dengan
responden, maka semakin tinggi LPC skor seorang pemimpin. Interpretasi dari LPC
adalah, pemimpin dengan skor LPC yang tinggi merupakan hasil dari hubungan
personal yang memuaskan, yaitu saat hubungan dengan bawahan hendak
ditingkatkan, pemimpin akan bertindak secara suportif (mendukung), dengan
cara yang penuh pertimbangan.
Sebaliknya,
pemimpin dengan skor LPC yang rendah mencirikan pemimpin yang lebih puas dengan
kinerja bawahan dalam rangka mencapai tujuan dan melaksanakan tugas. Pemimpin
jenis ini menempatkan pemberian motivasi sebagai prioritas kedua.
Bagi
Fiedler, perilaku kepemimpinan merupakan variabel dependen (bergantung) atas
kecocokannya dengan situasi kepemimpinan tertentu (variabel bebas). Terdapat 3
variabel yang menentukan kecocokan atas situasi yang mempengaruhi peran dan
pengaruh pemimpin, yaitu:
1.
Hubungan Pemimpin-Anggota – yaitu hingga derajat mana pemimpin dipercaya
dan disukai oleh anggota kelompok, serta keingin mereka mengikuti arahan
pemimpin.
2.
Struktur Tugas – yaitu hingga derajat mana tugas diberikan
pemimpin kepada anggota kelompok secara jelas, serta sejauh mana tugas tersebut
disusun berdasarkan instruksi yang rinci dan adanya prosedur-prosedur standar.
3.
Kekuasaan Berdasar
Posisi – kekuasaan pemimipin lewat
posisinya dalam organisasi, serta hingga derajat mana pemimpin dapat menerapkan
otoritas dalam hal pemberian reward dan punisment atau
promosi serta demosi.
Lewat
3 variabel di atas, Fiedler lantas mengembangkan 8 gaya kepemimpinan
berdasarkan model kontijensinya. Bagan lengkap Korelasi antara Skor LPC
Pemimpin dengan Efektivitas Organisasi sebagai berikut:
Tatkala situasi diperhitungkan sebagai:
§
Sangat Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota baik, tugas
terstruktur secara baik, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi kuat)
§
Sangat Tidak
Diinginkan (hubungan pemimpin-anggota
buruk, tugas tidak terstruktur, kekuasaan berdasarkan posisi dalam kondisi
lemah)
§
Maka Pemimpin
Berorientasi Pekerjaan (skor LPC rendah) disarankan mengambil gaya
direktif (mengatur) dan mengendalikan akan ia lebih efektif dalam melakukan
tindak kepemimpinan.
Saat
situasi diperhitungkan sebagai:
§
Diinginkan Secara
Moderat dan variabel-variabel
berbaur.
Pemimpin
dengan orientasi hubungan interpersonal (skor LPC tinggi) maka pendekatan
partisipatif akan lebih efektif.
Fiedler
menyarankan, bahwa gaya kepemimpinan akan berbeda sepanjang situasi
kepempimpinan yang dikehendaki adalah berbeda. Fiedler berdalih, efektivitas
kepemimpinan dapat ditingkatkan dengan cara mengubah situasi kepemimpinan.
Kekuasaan Berdasar Posisi, Struktur Pekerjaan,
dan Hubungan Pemimpin-Anggotadapat diubah guna membuat situasi
lebih kompatibel (cocok) dengan karakteristik-karakteristik yang dimiliki
pemimpin.
Pemimpin
dengan skor LPC yang rendah dapat ditempatkan pada situasi kepemimpinan yang
paling diinginkan atau paling tidak diinginkan. Pemimpin dengan skor LPC yang
tinggi dapat ditempatkan dalam situasi kepemimpinan yang diinginkan secara
moderat.
Model
Kepemimpinan Kontijensi lainnya ditawarkan oleh Vroom dan Yetton. Mereka
mendasarkan analisisnya pada 2 aspek keputusan pemimpin yaitu: (1) Kualitas,
dan (2) Penerimaan, di mana kedua aspek tersebut didasarkan atas:
§
Kualitas Keputusan
atau rasionalitas adalah keputusan yang berdampak pada kinerja kelompok.
§
Penerimaan atas
keputusan mengacu pada motivasi dan komitmen anggota kelompok dalam
melaksanakan hasil keputusan.
§
Waktu yang dibutuhkan
untuk membuat keputusan.
Melalui
Model Kontijensi-nya, Vroom dan Yetton kemudian menawarkan 5 gaya keputusan
manajemen, yaitu:
1. Otokratik
Otokratik I : Pemimpin bekerja seorang diri baik dalam
menyelesaikan masalah atau dalam membuat keputusan dengan mengandalkan
informasi yang ada pada saat itu.
Otokratik II : Pemimpin mengumpulkan informasi dari
para bawahan tetapi memutuskan penyelesaikan masalah seorang diri.
2. Konsultatif
Konsultatif I : Masalah di-share secara
individual dengan bawahan yang berkaitan dengan masalah. Pemimpin lantas
membuat keputusan yang mencerminkan atau tidak mencerminkan pengaruh Bawahan.
Konsultatif II : Masalah di-share dengan
bawahan di secara berkelompok. Pemimpin lantas membuat keputusan yang
mencerminkan atau tidak mencerminkan pengaruh kelompok bawahan yang
diajak sharing.
3. Kelompok
Kelompok II : Masalah dibagi dengan para bawahan dalam
kelompok. Secara bersama, pemimpin dan bawahan menghasilkan dan mengevaluasi
serangkaian alternatif dan mencapai konsensus masalah bersama kelompok-kelompok
bawahan.
Model
Vroom and Yetton lalu direvisi lewat Model Vroom and Jago.
Model Vroom andJago tetap berlandaskan pada 5 gaya kepemimpinan
versi Vroom and Yetton, tetapi menambahkan 12 variabel
kontijensi. Variabel kontijensi tersebut adalah:
§
Persyaratan Kualitas,
§
Persyaratan Komitmen,
§
Informasi Pemimpin,
§
Struktur Masalah,
§
Kemungkinan Komitmen,
§
Kongruensi Tujuan,
§
Konflik Bawahan,
§
Informasi Bawahan,
§
Batasan Waktu,
§
Perbedaan Geografis,
§
Pengembangan
Motivasi.
Teori Path-Goal sebagai
salah satu pendekatan dalam kepemimpinan masih termasuk ke dalam kategori
Pendekatan Kontijensi. Teori ini dikembangkan oleh Robert J. House
serta Robert J. House and Gary Dessler.
Teori
ini mengajukan pendapat bahwa kinerja bawahan dipengaruhi oleh sejauh mana
manajer mampu memuaskan harapan-harapan mereka. Teori Path-Goal menganggap
bawahan memandang perilaku pemimpin sebagai pengaruh yang mampu memotivasi diri
mereka, yang berarti:
§
Kepuasan atas
kebutuhan mereka bergantung atas kinerja efektif, dan
§
Arahan, bimbingan,
pelatihan, dan dukungan yang diperlukan.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, House mengidentifikasi 4 tipe perilaku kepemimpinan sebagai
berikut:
1.
Kepempimpinan
Direktif, melibatkan tindak pembiaran
bawahan untuk tahu secara pasti apa yang diharapkan dari seorang pemimpin
melalui proses pemberian arahan (direksi). Bawahan diharap mengikuti aturan dan
kebijakan.
2.
Kepemimpinan Suportif, melibatkan cara yang bersahabat dan bersifat
merangkul pemimpin atas bawahan dengan menampakkan perhatian atas kebutuhan dan
kesejahteraan bawahan.
3.
Kepempimpinan
Partisipatif, melibatkan
diadakannya proses konsultatif dengan para bawahan serta kecenderungan
menggunakan evaluasi yang berasal dari opini dan saran bawahan sebelum manajer
membuat keputusan.
4.
Kepemimpinan
Berorientasi Pencapaian, melibatkan
perancangan tujuan yang menantang bagi para bawahan, mencari perbaikan atas
kinerja mereka, dan menunjukkan keyakinan bahwa bawahan dapat melakukan kinerja
secara baik.
Teori Path-Goal menyatakan
bahwa tipe perilaku kepemimpinan yang berbeda dapat dipraktekkan oleh orang
yang sama di situasi yang berbeda. Perilaku
Kepemimpinan dalam Teori Path-Goal ditentukan oleh dua faktor
situasional yaitu: (1) Karakteristik Personal Bawahan dan
(2) Sifat Pekerjaan.
Karakteristik
Personal Bawahan sangat
menentukan bagaimana bawahan bereaksi terhadap perilaku pemimpin serta sejauh
mana mereka melihat perilaku pemimpin tersebut sebagai sumber langsung dan
potensial untuk memuaskan kebutuhan mereka. Sifat Pekerjaan berhubungan
dengan sejauh mana pekerjaan bersifat rutin dan terstruktur, atau bersifat non
rutin dan tidak terstruktur.
Contoh,
semakin terstruktur suatu pekerjaan, semakin tujuannya jelas, dan semakin
terbangun rasa percaya diri bawahan, maka upaya untuk terus-menerus menjelaskan
suatu pekerjaan atau pengarahan merupakan tindakan pemimpin yang tidak
diharapkan oleh bawahan. Namun, tatkala pekerjaan tidak terstruktur secara
baik, tujuan tidak jelas, dan bawahan kurang pengalaman, lalu gaya kepemimpinan
yang bersifat direktif (pengarah) akan lebih diterima oleh para bawahan.
Perilaku
kepemimpinan yang efektif didasarkan atas kehendak pemimpin untuk membantu
bawahan dan kebutuhan bawahan untuk dibantu pemimpin. Perilaku kepemimpinan
akan bersifat motivasional sejauh perilaku tersebut menyediakan arahan,
bimbingan dan dukungan yang diperlukan bawahan, mendorong hubungan path-goalsecara
lebih jelas, dan membuang tiap hambatan yang merintangi pencapaian
tujuan.
Hingga
sejauh ini, pendekatan-pendekatan kepemimpinan lebih tertuju pada Pemimpin
(Pendekatan Sifat, Pendekatan Keahlian, dan Pendekatan Gaya) atau pada Pengikut
dan Konteks Situasi (Pendekatan Situasional, Teori Kontijensi, dan Teori Path-Goal).
Teori Leader-Member Exchange (LMX Theory) berbeda.
Teori LMX fokus
pada interaksi antara Pemimpin dengan Pengikut. Teori ini
termanifestasi dalam pola hubungan dyadic (berdasar 2 pihak)
antara pemimpin dan pengikut sebagai fokus proses kepempimpinan. Dalam interaksi
pemimpin-pengikut, terdapat tiga fase interaksi, yang bagannya sebagai berikut:
Tabel 2.2 Fase
Interaksi Pemimpin-Pengikut versi Northouse
Fase
|
Tahap
1
Asing
|
Tahap
2
Perkenalan
|
Tahap
3
Persekutuan
|
Peran
|
Tertulis
|
Pengujian
|
Negosiasi
|
Pengaruh
|
Satu Arah
|
Campuran
|
Timbal Balik
|
Pertukaran
|
Kualitas Rendah
|
Kualitas Moderat
|
Kualitas Tinggi
|
Kepentingan
|
Diri Sendiri
|
Diri Sendiri dan
Orang Lain
|
Kelompok
|
Fase-fase
tersebut adalah Fase Asing, Fase Perkenalan, dan Fase Persekutuan.
Fase
Asing. Pada fase ini interaksi dyad pemimpin-bawahan
umumnya terbangun lewat aturan formal organisasi atau kontrak pekerjaan yang
telah ditandatangani. Pemimpin dan bawahannya berhubungan satu sama lain sesuai
dengan peran-peran yang diharapkan oleh organisasi selaras dengan job
description. Bawahan berhadapan dengan seorang pemimpin yang bersifat
formal, yang secara hirarkis statusnya berada di atas posisi mereka, dan
tujuan di dalam diri bawahan sekadar memperoleh reward ekonomis
dari kendali yang diterapkan pemimpin. Motif-motif bawahan selama Fase
Asingdiarahkan terhadap kepentingan diri mereka sendiri ketimbang kebaikan
kelompok.
Fase
Perkenalan. Fase ini diawali adanya tawaran
yang diajukan pemimpin atau bawahan untuk meningkatkan pertukaran sosial yang
sifatnya career-oriented, yang bisa saja melibatkan saling berbagi
sumber daya atau informasi. Fase ini merupakan fase pengujian, baik untuk
pemimpin ataupun bawahan. Dari sisi bawahan, pengujian berkisar pada
ketertarikan bawahan untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih. Dari
sisi pemimpin, untuk menilai apakah ia mau menyediakan tantangan baru atas
bawahan.
Selama fase ini, dyad beralih dari
interaksi yang sekadar diatur lewat formalnya peraturan dan peran jabatan
menuju cara berhubungan yang baru. Dyad yang berhasil
dalam Fase Perkenalan diawali dengan terbangunnya kepercayaan
dan respek yang lebih besar atas satu sama lain. Mereka mengurangi fokus atas
kepentingan diri mereka sendiri dan beralih pada pencapaian tujuan kelompok.
Fase
Persekutuan. Fase ini ditandai dengan
pertukaran Leader-Member yang berkualitas tinggi. Pihak-pihak
yang masuk ke tahap ini menunjukkan hubungan yang didasarkan pada
kesalingpercayaan, respek, dan rasa kewajiban satu sama lain. Mereka telah
menguji hubungan mereka bangun dan menemukan situasi di mana mereka
sesungguhnya dapat bergantung satu sama lain.
Studi
yang dilakukan Chester A. Schriesheim, Stephanie L. Castro, Xiaohua Zhou, dan
Francis J. Yammarino tahun 2001 atas 75 manajer bank dan 58 insinyur mesin, menunjukkan
bahwa hubungan leader-member yang baik adalah tatkala mereka
mulai lebih bersifat egalitarian.
Salah
satu intrumen yang berupaya mengukur pertukaran Hubungan Leader-Member (LMX)
disajikan oleh Richard L. Daft. Contohnya seperti di sampaikan di bawah
ini dengan modifikasi pada pemberian Skala Likert:
Sebagai sesama
manusia, saya menyukai atasan saya.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Saat saya membuat
kesalahan, atasan langsung saya membela saya bahkan di depan atasannya
sendiri.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Pekerjaan yang saya
lakukan selalu melampaui apa yang sesungguhnya diinginkan atasan saya.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Saya mengagumi
pengetahuan profesional dan kemampuan atasan saya.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Atasan saya adalah
orang menyenangkan untuk diajak bekerja sama.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Demi kepentingan
kelompok saya bersedia bekerja secara maksimal.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Atasan saya memuji
pekerjaan saya dihadapan orang lain.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
Saya respek pada
kemampuan manajemen atasan saya.
|
1.SS
2.S 3.R 4.TS 5.STS
|
2.11. Pendekatan
Kepemimpinan Transformasional
Pendekatan
Kepemimpinan Transformasional awalnya digagas oleh James MacGregor Burns tahun
1978. Ia membedakan 2 jenis kepemimpinan yaitu Kepemimpinan Transaksional
dan lawannya, Kepemimpinan Transformasional.
Pemimpin
bercorak transaksional adalah mereka yang memimpin lewat
pertukaran sosial. Misalnya, politisi memimpin dengan cara “menukar satu hal
dengan hal lain: pekerjaan dengan suara, atau subsidi dengan kontribusi
kampanye. Pemimpin bisnis bercorak transaksional menawarkan reward finansial
bagi produktivitas atau tidak memberi reward atas kurangnya
produktivitas.
Pemimpin
bercorak transformasional adalah mereka yang merangsang dan
menginspirasikan pengikutnya, baik untuk mencapai sesuatu yang tidak biasa dan,
dalam prosesnya, mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri. Pemimpin
transformasional membantu pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi
pemimpin baru dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang bersifat individual
dari para pengikut. Mereka memberdayakan para pengikut dengan cara
menselaraskan tujuan yang lebih besar individual para pengikut, pemimpin,
kelompok, dan organisasi.
Kepemimpinan
Transformasional dapat mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan,
sebagaimana mereka mampu mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas kelompok
ataupun organisasi. Matriks pendekatan Kepemimpinan Transformasional dan
Transaksional tampak sebagai berikut:
Kepemimpinan
Transformasional punya sejumlah komponen sebagai berikut:
1. Pengaruh yang Diidealkan (Idealized Influence)
Pemimpin
transformasional berperilaku dengan cara yang memungkinkan mereka dianggap
sebagai model ideal bagi pengikutnya. Pemimpin dikagumi, dihargai, dan
dipercayai. Pengikut mengidentifikasi diri mereka dengan pemimpin dan ingin
menirunya. Pemimpin dipandang pengikutnya punya kemampuan, daya tahan, dan
faktor penentu yang luar biasa. Item pertanyaan untuk mengukur Idealized
Influence adalah “Pemimpin menenkankan pentingnya seluruh kelompok
punya misi bersama” atau “Pemimpin memberi keyakinan bahwa hambatan pasti bisa
dilalui.”
2. Motivasi yang Inspiratif (Inspirational
Motivation)
Pemimpin
transformasional berperilaku dengan cara yang mampu memotivasi dan
menginspirasi orang-orang yang ada di sekeliling mereka dengan memberi makna
dan tantangan atas kerja yang dilakukan oleh para pengikutnya. Semangat tim
meningkat. Antusiasme dan optimisme ditunjukkan. Idealized Influence dan Inspirational
Motivational secara bersama-sama membentuk Faktor kepemimpinan
Karismatik-Inspirational yang serupa dengan kepemimpinan seperti dimaksud teori
kepemimpinan karismatik. Contoh item pertanyaan guna mengukur Inspirational
Motivation adalah “Pemimpin mampu menjelaskan visi yang harus dicapai
di masa mendatang.”
3. Stimulasi Intelektual (Intellectual
Stimulation)
Pemimpin
transformasional merangsang usaha pengikutnya untuk kreatif dan inovatif dengan
mempertanyakan anggapan dasar (asumsi), memetakan masalah, dan memperbaharui
pendekatan-pendekatan lama. Kreativitas kemudian terbentuk. Pengikut jadi
berani mencoba pendekatan-pendekatan baru dan gagasan mereka tidak dikritik
karena beda dengan gagasan pemimpin. Contoh item pertanyaan guna mengukur Intellectual
Stimulation adalah “Pemimpin membuat bawahan mampu melihat persoalan
dari aneka sudut pandang.”
4. Pertimbangan Individual (Individualized Consideration)
Pemimpin
transformasional memberi perhatian khusus atas kebutuhan setiap pengikut dalam
rangka mencapai prestasi dan perkembangan dengan bertindak sekaligus pelatih
dan pembimbing. Pengikut dan para kolega mampu mencapai potensi tertinggi
mereka. Pertimbangan individual diterapkan tatkala satu kesempatan belajar baru
diciptakan bersamaan dengan iklim yang mendukung. Perbedaan kebutuhan dan
hasrat individual diakui. Pemimpin menunjukkan penerimaan atas perbedaan
individual tersebut. Contoh item pertanyaan
untuk Individualized Consideration adalah “Pemimpin meluangkan
waktu untuk melatih dan mengajar tim kerjanya.”
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, lawan dari kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional muncul tatkala reward ataupunishment dilakukan
oleh pemimpin atas pengikut akibat kinerja yang terakhir (pengikut).
Kepemimpinan transaksional bergantung pada penguatan terus-menerus, baik reward berlanjut
yang bersifat positif (CR/Contingent Reward) atau bentuk aktif atau
pasif dari manajemen dengan pengecualian (management-by-exception)
(MBE-A atau MBE-P).
Komponen
dalam kepemimpinan transaksional sebagai berikut:
1. Contingent
Reward (CR).
Transaksi konstruktif ini terbukti efektif dalam memotivasi
orang lain untuk mencapai kinerja tertinggi mereka, kendati tidak sebesar
komponen kepemimipinan transformasional. Kepemimpinan Contingent Rewardmelibatkan
pemberian pekerjaan oleh pemimpin atau menambah persetujuan pengikut atas
kebutuhan apa yang harus dituntaskan dengan janji atau rewardaktual
yang ditawarkan dalam pertukarannya dengan derajat kepuasan yang muncul dari
pekerjaan tersebut. Contoh item untuk mengukur Contingent
Reward adalah “Pemimpin menjelaskan apa yang orang bisa peroleh jika
tujuan dari kinerja dicapai.”
2. Management-by-Exception (MBE).
MBE
terdiri atas Management-by-Exception Aktif (MBE-A) dan Management-by-Exception Pasif
(MBE-P). Dalam MBE-A, pemimpin secara aktif merancang perangkat guna memantau
penyelewengan dari standard, kesalahan, dan error yang
ditunjukkan oleh pengikut untuk selanjutnya dilakukan langkah-langkah
perbaikan. Dalam MBE-P, pemimpin secara pasif menunggu terjadinya
penyelewengan, kesalahan, dan error untuk muncul terlebih dahulu baru kemudian
mengambil langkah perbaikan. MBE-A efektif untuk dilakukan dalam situasi
pekerjaan yang penuh bahaya. MBE-P efektif untuk dilakukan tatkala pemimpin
membawahi pengikut yang cukup banyak dan mereka melakukan pelaporan kepadanya.
Contoh item MBE-A adalah “Pemimpin mengarahkan perhatian agar kesalahan yang
terjadi diperbaiki hingga sesuai dengan yang diharapkan.” Contoh item MBE-P
adalah “Pemimpin tidak mengambil tindakan hingga keluhan diterima oleh mereka.”
3. Laissez-Faire Leadership (LF).
Kepemimpinan
Laissez-Faire adalah penghindaran atau ketiadaan kepemimpinan, dan merupakan
kepemimpinan yang paling tidak efektif. JIka dibandingkan dengan kepemimpinan
transaksional, laisses-faire tidak menunjukkan transaksi sama
sekali. Keputusan-keputusan yang diperlukan tidak dibuat. Tindakan
ditunda. Wewenang kepemimpinan diabaikan. Otoritas tidak digunakan.
Sampel
dari item laissez-faire adalah “Pemimpin menghindari
keterlibatan dirinya tatkala muncul masalah penting.”
Bagan
Lengkap item pertanyaan untuk kepemimpinan transformasional dan transaksional
sebagai berikut:
SKALA
|
ITEM
PERTANYAAN
|
Tranformasional
|
|
Idealized-Influence
(Attibuted Charisma)
|
Pemimpin menanamkan
kebanggaan pada diri saya karena saya bergabung dengan mereka.
|
Idealized-Influence
(Perilaku)
|
Pemimpin merinci
pentingnya memiliki tujuan dalam bekerja.
|
Inspirational
Motivation
|
Pemimpin menyatakan
visi-visi yang menarik di masa depan.
|
Intellectual
Stimulation
|
Pemimpin selalu mengupayakan
cara pandang yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.
|
Individual
Consideration
|
Pemimpin kerap
meluangkan waktu untuk mengajari dan melatih bawahannya.
|
Transaksional
|
|
Contingent
Reward
|
Pemimpin jelas
membedakan apa yang akan saya peroleh lewat kinerja tertentu.
|
Management-By-Exception
Aktif
|
Pemimpin fokus pada
ketidakteraturan, kesalahan, pengecualian, dan penyimpangan atas standar
kerja.
|
Management-By-Exception
Pasif
|
Pemimpin
menunjukkan bahwa ia yakin bahwa kalau tidak ada masalah, jangan
mengutak-kutik sesuatu.
|
Laissez-Faire
|
Pemimpin kerap
menunda tanggapan atas masalah atau permintaan penting.
|
2.12. Pendekatan
Kepemimpinan Otentik
Kepemimpinan otentik terdapat dalam tulisan Bruce
J. Avolio and Fred Luthans.[19]Avolio and Luthans
mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai “proses
kepemimpinan yang dihasilkan dari perpaduan antara kapasitas psikologis
individu dengan konteks organisasi yang terbangun baik, sehingga mampu
menghasilkan perilaku yang tinggi kadar kewaspadaan dan kemampuannya dalam
mengendalikan diri, sekaligus mendorong pengembangan diri secara positif.”
Kepemimpinan otentik memiliki empat komponen, yaitu:
(1) Kewaspadaan Diri; (2) Perspektif Moral yang Terinternalisasi; (3)
Pengelolaan Berimbang; dan (4) Transparansi Hubungan.
Kewaspadaan
Diri. Meningkatnya kewaspadaan diri adalah faktor
perkembangan penting bagi pemimpin otentik. Lewat refleksi, pemimpin otentik
dapat mencapai derajat yang jelas seputar nilai-nilai inti yang mereka anut,
identitas, emosi, dan motivasi atau tujuannya. Dengan mengenali diri sendiri,
pemimpin otentik memiliki pemahaman yang kuat seputar kediriannya sehingga
menjadi pedoman mereka baik dalam setiap proses pengambilan keputusan maupun
dalam perilaku kesehariannya.
Kewaspadaan
diri digambarkan pula sebagai memiliki kewaspadaan atas, dan keyakinan dalam,
motif, perasaan, hasrat, dan pengetahuan diri relevan lainnya. Kewaspadaan diri
juga melibatkan kesadaran akan kekuatan diri, kelemahan diri, sebagai
unsur-unsur yang saling bertolak belakang yang ada pada setiap manusia.
Kewaspadaan diri adalah proses yang berlangsung selama refleksi seorang
pemimpin atas nilai, identitas, emosi, dan motivasi serta tujuannya yang
unik.
Nilai. Pemimpin otentik akan melawan setiap tuntutan situasional
serta sosial yang dianggap mencoba melemahkan nilai-nilai yang mereka miliki.
Nilai-nilai ini bisa didefinisikan sebagai “konsepsi yang diinginkan seorang
aktor sosial – pemimpin organisasi, pembuat kebijakan, individu – yang
membimbing cara mereka dalam memilih tindakan, menilai orang dan peristiwa,
serta menjelaskan tindakan dan evaluasinya tersebut.
Nilai
juga menyediakan dasar bagi tindakan pemimpin dalam upaya penyesuai mereka atas
kebutuhan komunitas yang mereka pimpin ataupun unit organisasi mereka secara
khusus. Nilai dipelajari lewat proses sosialisasi. Sejak terinternalisasi,
nilai tersebut menjadi bagian integral dari sistem kedirian seseorang.
Sehubungan dengan pemberian pengaruh pemimpin pada pengikut, nilai tersebut
tidak bisa dikompromikan dan akan mereka transfer.
Identitas. Identitas
adalah teori yang mencoba untuk menggambarkan, menghubungkan, dan menjelaskan
sifat, karakter, dan pengalaman individu. Dua tipe identitas yang didiskusikan
dalam konteks kepempinan otentik adalah : (1) identitas personal, dan (2)
identitas sosial.
Identitas
personal adalah kategorisasi diri
yang didasarkan pada karakteristik unik seseorang – termasuk sifat dan
atributnya – yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Identitas
sosial adalah identitas yang didasarkan atas sejauh mana individu
mengklasifikasikan dirinya selaku anggota dari suatu kelompok sosial tertentu,
termasuk kekuatan emosi dan nilai yang terbentuk terkait dengan keanggotaan
tersebut.
Identitas
personal dan sosial saling berhubungan satu sama lain sebagai hasil refleksi
seseorang atas dirinya sendiri serta interaksinya dengan orang lain. Pemimpin
otentikmemahami identitas personal dan sosial ini secara jelas dan selalu
mewaspadainya.
Emosi. Pemimpin
otentik juga memiliki kewaspadaan diri yang bersifat emosional. Semakin tinggi
kecerdasan emosional seseorang, semakin waspada mereka atas emosi tersebut
sehingga dapat memahami pengaruhnya atas proses kognitif dan kemampuan
pembuatan keputusannya. Kesadaran diri seputar dimensi emosi seseorang
merupakan prediktor kunci untuk membangun kepemimpinaan yang efektif.
Motivasi/Tujuan. Pemimpin otentik berorientasi pada masa depan.
Mereka secara terus-menerus berupaya mengembangkan baik dirinya maupun para
pengikutnya. Tindakan pemimpin otentik diarahkan oleh motif-motif untuk
menyempurnakan dirinya. Mereka cenderung aktif mencari feedback yang
akurat dari para stakeholder (pengikut, teman, mentor,
pelanggan) tidak hanya untuk mengkonfirmasi pandangan pribadi mereka sendiri,
tetapi juga guna mengenali diskrepansinya (kesenjangannya) antara kondisi nyata
dengan pandangan pribadinya.
Perspektif
Moral yang Terinternalisasi. Perspektif moral yang terinternalisasi menggambarkan
proses pengaturan diri sendiri di mana pemimpin cenderung meresapkan
nilai-nilai mereka kepada maksud juga tindakan mereka. Pemimpin otentik
akan melawan setiap tekanan eksternal yang berlawanan dengan standar moral yang
mereka pegang melalui proses regulasi internal di dalam diri mereka, yang
memastikan bahwa nilai-nilai mereka tetap selaras dengan tindakan yang mereka
ambil. Dengan meresapkan nilai ke dalam tindakan serta bertindak menurut
kesejatian diri sendiri,pemimpin otentik menunjukkan konsistensi
antara apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka lakukan.
Pengelolaan
Berimbang. Pengelolaan berimbang juga kerap dirujuk sebagai
pengelolaan yang tidak memihak. Terhadap informasi negatif dan positif, pemimpin
otentik mampu mendengar, menafsir, dan memprosesnya dengan cara yang
obyektif. Proses ini mereka lakukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan.
Proses ini meliputi pengevaluasian kata-kata dan tindakan mereka sendiri secara
obyektif tanpa mengabaikan atau menyimpangkan sesuatu yang ada, termasuk
interpretasi seputar gaya kepemimpinannya sendiri. Pengelolaan berimbang juga
berhubungan dengan karakter dan integritas seorang pemimpin.
Transparansi
Hubungan. Pemimpin otentik tidak cukup hanya memiliki kewaspadaan diri, selaras
antara tindakan dengan nilai, dan obyektif dalam menafsir, tetapi seorangpemimpin
otentik juga harus mampu mengkomunikasikan informasi dengan cara
terbuka dan jujur dengan orang lain lewat pengungkapan diri sendiri yang
cenderung bisa dipercaya.
Sulit
untuk waspada dan tidak memihak apabila sudah diperhadapkan dengan kelemahan
diri sendiri. Namun, adalah lebih sulit lagi untuk mengekspos kelemahan
tersebut pada orang lain di dalam organisasi. Kendati begitu, menjadi terbuka
dengan perasaan, motif, dan kecenderungan orang lain akan membangun kepercayaan
dan perasaan stabil, menguatkan kerjasama dan semangat kerja di dalam tim yang
mereka pimpin. Pemimpin yang menunjukkan transparansi hubungan akan dianggap
sebagai pemimpin yang lebih sejati dan lebih otentik.
Tim
adalah kelompok di dalam organisasi yang anggota-anggotanya saling bergantung
satu sama lain, saling berbagi tujuan bersama, dan dicirikan oleh adanya satu
orang yang mengkoordinasikan kegiatan bersama mereka. Koordinasi tersebut
dilakukan demi mencapai tujuan bersama. Contoh dari sebuah tim adalah tim
manajemen proyek, gugus tugas, unit-unit kerja, atau tim pengembang
organisasi.
Di
dalam tim, fungsi utama kepemimpinan adalah berupaya mencapai tujuan organisasi
(tim) secara kolektif, bukan individual. Tim umumnya memiliki seorang pemimpin
yang telah ditentukan. Pemimpin tersebut dapat berasal dari dalam tim itu
sendiri maupun dari luar.
Peran
kepemimpinan di dalam tim dapat saja dirotasi sehingga mungkin saja diisi oleh
para anggota lain antarwaktu. Peran kepemimpinan di dalam tim juga bisa disebar
di antara sejumlah anggota tim tanpa harus ditentukan seorang pemimpin secara
formal. Kepemimpinan yang tersebar tersebut umum ditemukan dalam kepemimpinan
tim. Posisi kepemimpinan dalam tim tidak lagi bercorak satu pemimpin formal selaku
pemegang tanggung jawab utama melainkan jatuh ke tangan beberapa orang yang
berpengalaman di dalam tim.
Model kepemimpinan tim dicontohkan sebagai berikut:
Kepemimpinan
di dalam tim umumnya digariskan ke daftar serangkaian keputusan utama yaitu
sejumlah kondisi yang menentukan kapan dan bagaimana seorang pemimpin baru ikut
campur guna meningkatkan fungsi tim. Pertimbangan pertamaapakah
lebih baik meneruskan pengamatan dan memonitoring tim ataukah mengintervensi
kegiatan tim dengan mengambil tindakan. Pertimbangan kedua, apakah
intervesi yang dilakukan lebih kepada tugas yang tengah dilaksanakan ataukah
dalam konteks hubungan yang dengan anggota tim lain. Pertimbangan ketiga apakah
intervensi sebaiknya dilakukan pada tingkat internal (di dalam tim itu sendiri)
atau eksternal (di lingkungan sekeliling tim).
Tindakan
yang juga umum diambil dalam kepemimpinan tim terbagi menjadi dua: Internal dan
eksternal. Tindakan internal artinya adalah tindakan yang
dilakukan di dalam tim itu sendiri, yang terdiri atas tugas dan hubungan.
Tindakan eksternal artinya tindakan dilakukan pada lingkungan
sekeliling tim.
Tindakan
kepemimpinan dalam tugas internal terdiri atas model yang merinci
serangkaian skill atau tindakan yang dilakukan pemimpin untuk
meningkatkan kinerjanya, yaitu :
§
Fokus pada tujuan
(menjelaskan, memperoleh persetujuan)
§
Merinci hasil
(perencanaan, pemvisian, pengorganisasian, penjelasan peran, dan pendelegasian
wewenang)
§
Pemfasilitasian
proses pembuatan keputusan (penginformasian, pengendalian, pengkoordinasian,
pemediasian, pensintesisan, dan pemfokusan pada masalah)
§
Pelatihan anggota tim
sehubungan keahlian yang dibutuhkan dalam pekerjaannya (pendidikan,
pengembangan)
§
Pemeliharaan standar
prima (penilaian tim dan kinerja individual, pembahasan kinerja yang tidak
sesuai)
Tindakan
hubungan dalam konteks internal dibutuhkan untuk meningkatkan skill interpersonal
anggota tim sekaligus hubungan yang terjalin di dalam tim. Tindakan dalam
konteks ini terdiri atas:
§
Pelatihan untuk
meningkatkan skill interpersonal
§
Penguatan kerjasama
di antara anggota tim
§
Pengelolaan konflik
agar konflik tetap ada di tataran intelektual, bukan pribadi.
§
Penguatan komitmen
tim.
§
Pemuasan kepercayaan
dan dukungan yang dibutuhkan oleh anggota tim
§
Bertindakan fair dan
konsisten dalam perilaku-perilaku yang bersifat prinsipil.
Tindakan
kepemimpinan eksternal adalah tindakan yang dibutuhkan untuk menjaga tim agar
terlindung dari dampak lingkungan eksternal, tetapi di saat sama, mempertahankan
hubungan tim dengan lingkungan eksternal. Termasuk ke dalam tindakan ini
adalah:
§
Memperoleh akses atas
informasi demi membangun aliansi eksternal;
§
Membantu tim yang
telah terkena pengaruh lingkungan ;
§
Bernegosiasi dengan
manajemen senior seputar pengakuan, dukungan, dan sumberdaya yang perlu bagi
kelangsungan tim;
§
Perlindungan anggota
tim dari penetrasi lingkungan internal organisasi maupun eksternal organisasi;
§
Melakukan pengujian
atas indikator efektivitas yang berasal dari lingkungan eksternal, misalnya
survey kepuasan pelanggan; dan
§
Menyediakan informasi
dari luar yang dibutuhkan oleh anggota tim.
Efektivitas
tim terdiri atas dua dimensi yaitu : (1) kinerja tim dan (2) pengembangan tim.
Kinerja tim mengaju pada seberapa baik kualitas tugas yang mampu dicapaioleh
tim. Pengembangan tim mengacu pada seberapa baik tim tetap terpelihara
sehubungan dengan pencapaian tugas-tugas tim. Sejumlah peneliti menganjurkan
kriteria penilaian efektivitas tim, misalnya yang seperti ditawarkan Carl E.
Frank M. J. LaFasto tahun 1989, yaitu:
§
Apakah tim punya
tujuan yang spesifik, masuk akal, dan disampaikan secara jelas?
§
Apakah tim memiliki
struktur pencapaian hasil?
§
Apakah para anggota
tim memenuhi syarat?
§
Adakah kesatuan dalam
tim yang didasarkan pada komitmen atas tujuan tim?
§
Adakah iklim
kerjasama diantara anggota tim?
§
Adakah standar prima
yang membimbing tim?
§
Adakah dukungan
eksternal serta pengakuan bagi tim?
§
Adakah kepemimpinan
tim yang efektif?
2.14. Pendekatan
Psikodinamik
Pendekatan
psikodinamik dalam kepemimpinan dibangun berdasarkan dua asumsi dasar. Pertama,
karakteristik personal individu sesungguhnya telah tertanam jauh di dalam
kepribadiannya sehingga sulit untuk diubah walaupun dengan aneka cara. Kuncinya
adalah pengikut harus menerima secara legowo karakteristik
seorang pemimpin, memahami dampak kepribadiannya tersebut diri mereka, dan
menerima keistimewaan dan faktor ideosinkretik yang melekat pada seorang
pemimpin. Kedua, invididu memiliki sejumlah motif dan perasaan yang
berada di bawah alam sadarnya. Motif dan perasaan ini tidak mereka sadari.
Sebab itu, perilaku individu tidak hanya merupakan hasil dari tindakan dan
respon yang bisa diamati, melainkan juga residu emosi dari pengalaman
sebelumnya yang telah mengendap sekian lama di alam bawah sadarnya.
Pendekatan
psikodinamik berakar dari karya psikoanalisis Sigmund tahun 1938. Freud
berusaha membantu masalah para pasiennya yang tidak berhasil ditangani oleh
metode-metode konvensional. Metode yang ia gunakan adalah menghipnotis pasien
guna menyingkap alam bawah sadanya. Kajian Freud lalu dilanjutkan muridnya,
Carl Gustave Jung. Kajian psikoanalitis Frued dan Jung inilah yang kemudian
mendasari pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan.
Carl
Gustav Jung kemudian mengembangkan alat ukur yang menjadi dasar pengukuran
Kepemimpinan Psikodinamik. Alat ukur tersebut dikembangkan berdasarkan 4
dimensi.Pertama, menekankan pada kemana individu mencurahkan energinya
(internal ataupun eksternal). Kedua, melibatkan cara orang
mengumpulkan informasi (secara zakelijkataupun lebih intuitif dan
acak). Ketiga, cara individu membuat keputusan (apakah
rasional-faktual ataukah subyektif-personal). Keempat, menekankan
pada perbedaan antarindividu, antara yang terencana dengan yang spontan.
Berdasarkan
keempat dimensi tersebut, Jung kemudian membuat empat klasifikasi yang menjadi
dasar kategorisasi kepemimpinan psikodinamik yaitu: (1) Ekstraversi versusintroversi,
meliputi kemana individu cenderung mencurahkan energinya, kepada aspek internal
ataukah eksternal; (2) Sensing versus intuiting,
meliputi apakah individu cenderung mengumpulkan informasi secara empirik
ataukah intuitif; (3) Thinking versusfeeling, yang
meliputi kecenderungan individu untuk membuat keputusan secara rasional atau
subyektif; (4) Judging versus perceiving, meliputi
kecenderungan individu untuk hidup secara tertata/terencana ataukan spontan.
Berdasarkan keempat modelnya ini, Jung mampu membuat 16 kombinasi.
Ekstraversi
dan Introversi. Ektraversi adalah kecenderungan
individu untuk mengumpulkan informasi, inspirasi, dan energi dari luar dirinya.
Salah satu ciri individu ekstrovertadalah mereka bicara banyak hal.
Orang seperti ini suka berhubungan dengan orang lain dan memiliki kecenderungan
bertindak. Mereka terkesan bersemangat dan disukai dalam pergaulan
sosial.
Sebaliknya,
individiu introvert cenderung menggunakan gagasan dan
pemikirannya sendiri dalam mengumpulkan informasi tanpa terlalu membutuhkan
rangsangan eksternal. Individu seperti pun cenderung mendengar ketimbang
berbicara. Mereka mampu mengumpulkan informasi baik melalui kegiatan membaca
ataupun menonton televisi. Ciri utama introversi adalah kebutuhannya untuk
menyendiri agar mampu berpikir serta memulihkan diri.
Sensing
dan Intuition. Dimensi sensing dan intuition berkait
dengan kegiatan invididu dalam memperoleh informasi. Sensor mengumpulkan data
lewat perasa (sensing), dan pemikiran mereka berkisar di sekitar masalah
praktis dan faktual. Individu kategorisensing cenderung menyukai
rincian serta melibatkan diri di dalam dunia praktis. Mereka lebih
memperhatikan segala apa yang bisa mereka lihat, dengar, sentuh, bau, dan
rasakan. Ketepatan dan akurasi adalah kesukaan utama orang yang berdimensisensing.
Tipe Intuition adalah
orang yang intuitif. Mereka cenderung konseptual dan teoretis. Pengalaman
praktis dalam kehidupan sehari-hari justru membosankan mereka. Mereka lebih
menyukai kegiatan pemikiran yang kreatif, berpikir tentang masa depan, serta
melakukan hal-hal yang tidak umum saat menyelesaikan suatu masalah. Dalam
mengumpulkan informasi, tipe intuition mencari segala
keterhubungan dan mengkaji hipotesis-hipotesis; mereka cenderung menggunakan
kerangka teoretis dalam memahami dan memperoleh data.
Thinking
dan Feeling. Setelah memperoleh informasi,
individu perlu membuat keputusan berdasarkan data dan fakta yang mereka miliki.
Terdapat dua cara dalam membuat keputusan, yaitu dengan thinking dan feeling.
Individu yang masuk kategori thinkingcenderung menggunakan logika,
menjaga obyektivitas, dan berpikir secara analitis. Dalam melakukan kegiatan
ini, mereka cenderung tidak melibatkan diri ataupun terkesan terpisah dengan
orang lain. Mereka lebih suka membuat keputusan secara terukur.
Kebalikan
dari thingking adalah feeling. Tipe ini cenderung
subyektif, mencari harmoni dengan orang lain, serta lebih memperhatikan
perasaan orang lain. Individu tipe ini pun cenderung lebih terlibat dengan
orang lain baik di dalam lingkup pekerjaan, serta umumnya dianggap sebagai
individu yang bijaksana atau manusiawi.
Judging
dan Perceiving. Tipe judger cenderung
menyukai sesuatu yang terstruktur, terencana, terjadual, dan hal-hal yang
solutif (menyelesaikan permasalahan). Mereka lebih menyukai kepastian dan
cenderung bertindak secara step-by-step. Sebab itu, tipe ini merasa
yakin pada metodenya ketika bertindak. Sebaliknya, perceiver cenderung
lebih fleksibel, adaptif, tentatif, dan terbuka. Mereka ini lebih
spontan. Perceiver menghindari deadline yang
serius dan bisa mengubah pikiran ataupun keputusannya sendiri hampir tanpa
kesulitan. Tabel kelebihan dan kekurangan dari dimensi Jung sebagai berikut:
Tabel 2.5 Pilihan
Psikologis dan Kepemimpinan versi Stech 2010
Tipe Pemimpin
|
Kelebihan Pemimpin
|
Kekurangan Kekurangan
|
Thinker
|
Obyektif
Rasional
Penuntas masalah
|
Kritis
Penuntut
Tidak sensitif
|
Feeler
|
Empatik
Kooperatif
Loyal/Setia
|
Tidak tegas
Berubah-ubah
|
Ekstravert
|
Bersemangat
Komunikatif
Terbuka
|
Kebanyakan ngomong
Ceroboh
|
Introvert
|
Pendiam
Reflektif
Pemikir
|
Lambat memutuskan
Ragu-ragu
|
Intuitor
|
Pemikir strategis
Berorientasi masa depan
|
Samar-samar
Tidak rinci
|
Sensor
|
Praktis
Berorientasi tindakan
|
Tidak imajinatif
Cenderung rincian
|
Judger
|
Tegas
Ketat pada rencana
|
Kaku
Tidak fleksibel
|
Perceiver
|
Fleksibel
Penasaran
Informal
|
Berantakan
Tidak fokus
|
Kuesioner
yang populer untuk mengukur keempat dimensi Jung tersebut adalah yang
dikembangkan Myers dan Briggs yang disebut MBTI (Myers-Briggs Typhology
Inventory).
Kajian
formal atas pendekatan psikodinamika dalam kepemimpinan dilakukan seorang
profesor manajemen di Harvard University, Abraham Zaleznik, tahun
1977. Zaleznik banyak menggunakan data dari para pemimpin karismatik. Pada masa
yang kemudian, Michael Maccoby mulai mengembangkan pendekatan psikodinamik,
yang memadukan antara bidang antropologi dengan pelatihan psikoanalitik. Akhirnya,
pada tahun 2003, Maccoby berhasil mengembangkan apa yang kemudian dikenal
sebagai tipe pemimpin bercorak narsistik produktif sebagai
kategori pemimpinan yang visioner. Pendekatan psikodinamik ini juga menganggap
bahwa gaya kepemimpinan seseorang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan
polesan-polesan psikologis.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Meninjau Model
Kepemimpinan Obama
Kepemimpinan
Obama menunjukkan empat ciri khas gaya kepemimpinannya.
Pertama,
clear and consistent policy goals, tujuan-tujuan kebijakan pokok yang
dirumuskan dengan jelas dan dipertahankan sejak awal. Pada minggu- minggu
pertama masa kepresidenannya, ia menyatakan bahwa reformasi asuransi yang
sejati harus mencakup semua atau hampir semua penduduk Amerika. Tidak kurang
penting, orang yang sedang sakit atau dipecat dari pekerjaannya berhak
memperoleh asuransi. Perusahaan asuransi swasta dilarang menolak aplikasinya
dengan alasan apa pun. Dari segi keuangan, reformasi harus secara bertahap
mengurangi laju pertumbuhan ongkos layanan kesehatan yang sedang mengancam
kestabilan ekonomi Amerika. Paling tidak, kebijakan reformasi tidak boleh
menambah defisit anggaran belanja negara.
Ciri
kedua adalah tactical intelligence, kepintaran taktis. Dari awal Obama ditekan
oleh banyak teman se-partai untuk mengurangi atau meniadakan peran perusahaan
asuransi swasta dalam layanan kesehatan masyarakat. Hal serupa sudah lama
dilakukan di Kanada dan Eropa, tempat negara memainkan peran utama dalam bidang
kesehatan. Obama menampik tekanan itu sebab ia maklum bahwa sebuah rencana
undang-undang yang membesarkan peran negara pasti bakal gagal, baik di Senat
maupun di Dewan Perwakilan. Yang lebih mendasar, ia menyadari bahwa budaya
politik Amerika yang amat individualis belum siap menerima kejutan yang
sedrastis itu. Kepintaran taktisnya juga diperlihatkan ketika super majority,
mayoritas besar partainya di Senat, 60 kursi dari jumlah total 100 kursi, hilang
akibat pemilihan khusus di negara bagian Massachusetts pada awal bulan Januari
2010. Menurut aturan yang lazim diperlakukan di Senat, mayoritas besar itu
diharuskan untuk meluluskan legislasi penting. Yang menang dalam pemilihan
Massachusetts itu adalah calon Partai Republik. Ia berharap bisa membalikkan
keputusan Senat yang baru diambil satu bulan sebelumnya, 60 suara pro dan 40
suara kontra, untuk menyetujui rencana undang-undang reformasi. Reaksi Obama cepat: ia langsung memanfaatkan
kiat parlementer yang jarang dipakai bernama ”rekonsiliasi” untuk menggeser
pemutusan terakhir dari Senat ke Dewan Perwakilan.
Ketiga,
Obama membuktikan bahwa dia bersedia learn from history, belajar dari
pengalaman pendahulu-pendahulunya. Contoh utama: usaha reformasi layanan
kesehatan Presiden Bill Clinton, yang juga mewakili Partai Demokrat, mentok
pada awal 1990-an. Bersama Ibu Negara kala itu, Hillary Clinton, Bill Clinton
mencoba menciptakan sendiri program reformasi kesehatan yang menyeluruh. Dengan
sengaja, supaya proposal mereka murni dan utuh, pasangan Clinton tidak
melibatkan berbagai kelompok kepentingan yang bersangkutan. Akibatnya, mereka
diserang kampanye negatif yang keji oleh asosiasi perusahaan asuransi swasta.
Proposal itu tenggelam seketika.
Sebaliknya,
Presiden Obama justru mencari sebanyak mungkin masukan. Ia mengaku menerima
sejumlah gagasan lawan, misalnya untuk memperkuat unsur persaingan
antarperusahaan asuransi. Oleh para pendekar Partai Republik, pendekatan itu
dianggap lebih tepat ketimbang peran besar negara. Pada Februari 2010 seluruh
masyarakat Amerika sempat menghadiri, lewat siaran televisi sepanjang hari,
sebuah seminar nasional tentang layanan kesehatan yang dipimpin oleh ”Profesor”
Obama. Hasilnya lumayan meskipun tidak ada suara Partai Republik yang diraih.
Sebagian besar kelompok kepentingan yang bersangkutan, termasuk berbagai
asosiasi dokter dan perawat yang dulu melawan proposal Clinton, berada di
pihaknya.
Ciri
khas terakhir gaya kepemimpinan Obama adalah political will, kemauan politik.
Yang saya maksudkan bukan hanya suatu komitmen kepada suatu rencana
undang-undang belaka. Kemauan politik yang sebenarnya merupakan suatu kesediaan
penuh kesadaran untuk mengambil risiko-risiko politik, termasuk risiko berat,
demi pencapaian sebuah tujuan dasar atau luhur. Ibarat pedang, kemauan politik
bermata dua. Ia bisa menyelamatkan, tetapi bisa juga memusnahkan.
3.2. Model Kepemimpinan Obama
Bila di tinjau dari empat karakter
gaya kepemimpinan yang telah diuraikan, dapat kita simpulkan bahwa obama
cenderung menggunakan pendekatan gaya kepemimpinan situasional:
Pendekatan
kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di
dalam suatu situasi yang unik. Seperti penyampaian Obama bahwa reformasi asuransi yang sejati harus mencakup
semua atau hampir semua penduduk Amerika.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan
bahwa kepemimpinan terdiri atas dimensi arahan dan dimensi
dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara tepat dengan memperhatikan
situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi
khusus, Obama mengevaluasi asuransi pada masa sebelumnya dan menilai seberapa
peluang membuat kebijakan baru tentang asuransu.
Kepemimpinan
situasional meliputi penggunaan komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi,
melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan, serta memberikan
dukungan emosional pada mereka.
Hal
ini bisa dilihat ketika Ia
berharap bisa membalikkan keputusan Senat yang baru diambil satu bulan
sebelumnya, 60 suara pro dan 40 suara kontra, untuk menyetujui rencana
undang-undang reformasi. Reaksi Obama cepat: ia langsung memanfaatkan kiat
parlementer yang jarang dipakai bernama ”rekonsiliasi” untuk menggeser
pemutusan terakhir dari Senat ke Dewan Perwakilan.
Berikut
bagan dari keempat jenis gaya kepemimpinan situasional yang
diperlihatkan Obama:
Gambar 3.1 Kuadran Gaya Kepemimpinan versi
Hellriegel and Slocum
Obama
mempertimbangkan situasi sebelum memutuskan gaya kepemimpinan mana yang hendak
digunakan. Obama membuktikan bahwa dia bersedia
learn from history, belajar dari pengalaman pendahulu-pendahulunya. Contoh
utama: usaha reformasi layanan kesehatan Presiden Bill Clinton.
Kontijensi
situasional pada model adalah derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah
kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berhubungan dengan
pekerjaan secara maksimal tetapi mampu dicapai dan keinginan mereka untuk
memikul tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut,
melainkan bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok
mungkin punya kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan,
tetapi tidak dipekerjaan lainnya. Kesiapan pengikut juga
bergantung pada seberapa banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar
komitmen mereka pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa
banyak pengalamannya, dan seterusnya.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Model Kepemimpinan yang efektif
ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan mengarahkan
bawahannya dalam organisasi. Kepemimpinan yang efektif ini berhubungan dengan
pendekatan kekuasaan, perilaku, situasional, dan sifat.
2.
Kepemimpinan dan penyesuaian terhadap
perubahan merupakan tantangan terbesar masa kini bagi seorang pemimpin. Dan
Obama dapat mengatasi itu dengan menerapkan kepemimpinan situasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard M. Bass and Ronald E. Riggio, Transformational
Leadership, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 2008)
Bruce J. Avolio and Fred J. Luthans, The High
Impact Leader: Moments Matter in Accelerating Authentic Leadership (New
York: McGraw-Hill, 2006) p.2
Carl E. Larson and Frank M.J. LaFasto, Teamwork:
What Must Go Righ, What Can Go Wrong (Newbury Park, California: SAGE
Publications, Inc., 1989)
Daina Mazutis, “Authentic Leadership” dalam W. Glenn
Rowe and Laura Guerrero, eds., Cases in Leadership (Thousand
Oaks, California: SAGE Publications, 2011) p286-7.
Ernest L. Stech, “Psychodynamic Approach” dalam
Peter Guy Northouse, Leadership ..., op.cit., p.272-3
Gary Yukl, Leadership in Organizations,
Sixth Edition (Delhi : Dorling Kindersley, 2009) p.26
Kasali,
Rhenald (2005), Change, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta
R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University,
Columbus, Ohio, Amerika Serikat
Robert N. Lussier and Christopher F. Achua, Leadership
: Theory, Application, and Skill Development, 4th Edition
(Mason, Ohio : South-Western Cengage Learning, 2010) p.6.
Richard L. Daft, The Leadership Experience,
4th Edition (Mason, Ohio : Thomson Learning Education,
2008) p. p.55.
Susan E. Kogler Hill, “Team Leadership” dalam Peter
Guy Northouse, Leadership W. Glenn Rowe and Laura Guerrero, Cases in
Leadership, (Thousand Oaks, New York: SAGE Publication, 2011) p.314-6.
By : Supandi
Komentar
Posting Komentar