Langsung ke konten utama

Social Walfare model, Local Capture e check and balance dan P = participation.

1.      Pelaksanaan Otonomi daerah menghendaki perencanaan yang baik, bagaimana kaitannya dengan social walfare model W = f (d,e,P) dimana d = local capture e = check and balance dan P = participation.
Pelaksanaan otonomi daerah lahir pada tahun 1999 yang sesungguhnya memiliki perluang untuk sukses. Keberhasilan otonomi daerah sangat ditentukan oleh faktor - faktor yang bermain dan dimainkan dalam rangka implementasinya. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi itu sendiri adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestic, dan di pihak lain dengan adanya desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestic akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol  adanya trust dari pemerintah pusat ke daerah.
Pembangunan nasional dilaksanakan secara bersama sama oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintahan berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang, sedangkan masyarakat dituntut partisipasinya (P= Participation) mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan pembangunan tersebut. Dengan demikian, inti dari pembangunan adalah membangun manusia sebagai subjek dan objek pembangunan. Hal ini berarti bahwa didalam pembangunan, yang ditingkatkan kualitasnya tidak saja pemerintah sebagai administrator dan dinamisator pembangunan itu sendiri, tetapi juga masyarakat Indonesia atau manusianya.
Proses pembangunan baik dalam usaha pertumbuhan ataupun dalam bentuk terjadinya perubahan-perubahan untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik di segala aspeknya akan menghadapkan aparatur pemerintahan kepada kondisi kompleksitas tugas pemerintahan dan pembangunan serta tuntutan pelayanan masyarakat yang lebih bervariatif dan berkualitas. (Salam, 2003 : 2)
Menurut Suroto, pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Guna penetapan tujuan dan sasaran pembangunan pada tiap tahap, untuk alokasi sumber-sumber serta untuk mengatasi rintangan keterbatasan dan pertentangan ini dan untuk melakukan koordinasi kegiatan, di perlukan kebijaksanaan yang memuat program dan cara-cara yang relevan dan efektif yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan. Dengan kata lain, kebijaksanaan berisi tujuan keseluruhan dan tujuan tiap program yang hendak dicapai pada tiap tahap pembangunan, cara yang perlukan dilakukan untuk mengatasi semua atau berbagai keterbatasan, rintangan-rintangan dan pertentangan yang ada atau di perkirakan akan terjadi, cara mengalokasikan sumber-sumber pembangunan yang optimal, serta cara melakukan koordinasi semua kegiatan yang efektif. (Suroto, 1983:78).
Randy dan Riant memberikan definisi pembangunan secara sederhana, yaitu pembangunan secara sederhana diartikan sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan secara terukur dan alami. Dalam menyelenggarakan tindakan pembangunan, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai kegiatanya. Dana tersebut dihimpun dari warga Negara dalam bentuk: pajak, pungutan, serta yang di peroleh secara internal dari pendapatan bukan pajak dan laba perusahaan publik. Kesejahteraan manusia merupakan fokus dari tujuan pembangunan, motivasi pelaku pembangunan, dan perioritas pembiayaan pembangunan. (Randy dan Nugroho, 2006:10)
Pada dasarnya pencapaian kesejahteraan masyarakat dilalui dengan jalan perubahan-perubahan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, perubahan tersebut dilakukan melalui pembangunan, tujuan pembangunan masyarakat ialah perbaikan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat, sehingga kemiskinan dan lingkungan hidup masyarakat mengalami perubahan. Pembangunan biasanya didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu Negara atau bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa, misalnya pembangunan dibidang ekonomi, apabila pembangunan ekonokmi telah berjalan dengan baik maka pembangunan dibidang lain akan berjalan dengan baik. (Siagian, 2000:4) Suatu skema baru otonomi daerah yang didalamnya termuat semangat melibatkan masyarakat, dengan menekankan bahwa kualitas otonomi daerah akan ditentukan oleh sejauh mana keterlibatan masyarakat, maka dengan sendirinya harus adanya seluruh aspirasi masyarakat semenjak dini (Abe, 2005). Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan langkah baru untuk membenahi penyelenggaraan pemerintah, melalui otonomi dan desentralisasi yang diharapkan mampu melahirkan partisipasi aktif masyarakat dan menumbuhkan kemandirian pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah juga harus ada sebab masyarakat adalah pemilik kedaulatan, masyarakat adalah membayar pajak dan masyarakat adalah subjek dalam pembangunan. Selain itu, program-program yang di rumuskan dan dilaksanakan secara partisipasi turut memberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat dalam perencanaan yang menyangkut kesejahteraan mereka dan melaksanakan sendiri serta memetik hasil program yang dicapai. Dalam pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan salah satu elemen proses pembangunan desa, oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu dibangkitkan terlebih dahulu oleh pihak lain seperti pemerintah desa, sehingga dengan adanya keterlibatan pemerintah desa besar kemungkinan masyarakat akan merasa diberi peluang atau kesempatan ikut serta dalam pembangunan, karena pada dasarnya menggerakkan partisipasi masyarakat desa merupakan salah satu sasaran pembangunan desa itu sendiri. Masyarakat sebagai objek pembangunan berarti masyarakat terkena langsung atas kebijakan dan kegiatan pembangunan. Dalam hal ini perlu ikut masyarakat dilibatkan baik dari segi formulasi kebijakan maupun aplikasi kebijakan tersebut, sebab merekalah yang dianggap lebih tahu kondisi lingkungannya. Dimana dominasi Negara berubah menjadi institusi lokal, untuk itu peran serta langsung masyarakat sangat diperlukan dan terus diperkuat dan diperluas. Dengan demikian istilah partisipasi tidak sekedar menjadi retorika semata tetapi diaktualisasikan secara nyata dalam berbagai kegiatan dan pengambilan kebijakan pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata. Salah satu kritik adalah masyarakat merasa “tidak memiliki” dan “acuh tak acuh” terhadap program pembangunan yang ada. Penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan, terlebih apabila kita akan melakukan pendekatan pembangunan dengan semangat kualitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya tentu akan memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokallah yang mengetahui apa permasalahan yang di hadapi serta juga potensi yang dimiliki oleh daerahnya, bahkan pola mereka akan mempunyai “pengetahuan lokal” untuk mengatasi masalah yang dihadapi tersebut. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian ragam dan kadar partisipasi seringkali ditentukan secara massa yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khsususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan programprogram atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahapan perencanaan bahkan pengambilan keputusan.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi masyarakat desa tidak terlepas dari partisipasi aktif anggota masyarakat. Di desa telah dibentuk pemerintah desa yaitu Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai wujud dari demokrasi yang berfungsi sebagai lembaga legislatif desa. Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum Negara dan pemerintahan ini terbentuk, etensitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat sitiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, secara relatif mandiri dari campur tangan etensitas kekuasaan dari luar. (Santoso, 2003:2) Adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang pada masyarakat. Kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam seluruh proses kebijakan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pengawasan. Untuk mewujudkan kegiatan pembangunan yang lebih demokratis sebagai upaya dalam mendukung berjalannya roda pemerintahan, pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada daerah untuk lebih menentukan nasib pembangunan daerah itu sendiri melalui UU No. 32 Tahun 2004 tetang pemerintah daerah. Maksud dan tujuan Undang-Undang tersebut adalah menciptakan pemerataan pembangunan nasional dalam mengatasi kesenjangan antar daerah, karena dengan pembangunan daerah itulah yang akan dapat menjangkau pelosok negeri.
Dalam penjelasan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1999 Tentang GBHN Tahun 1999-2004 (1999:75) memberikan rambu-rambu sebagai berikut : “Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pernyataan ini mengandung arti bahwa selain untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan partisipasi masyarakat di daerah, penyelenggaraan otonomi juga diarahkan kepada pertumbuhandan pengembangan daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Untuk penyelenggaraan otonomi daerah seperti dimaksud, perlu diarahkan terciptanya aparatur yang memiliki komitmen yang tinggi kepada tugas-tugasnya. Aparatur pemerintah dituntut untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja agar lebih efektif, efisien, responsive, adaptif dan produktif, sekaligus mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, baik yang meliputi dimensi organisasi, dimensi sumber daya manusia, serta dimensi manajemen/tata laksana.
oleh Cheema (2005), bahwa desentralisasi dapat mendorong tercapainya nilai-nilai demokrasi dan good governance dalam beberapa cara. Pertama, tersedianya kerangka kerja local capture bagi masyarakat pada level lokal untuk mengelola diri mereka sendiri dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan lokal. Semakin tinggi tingkat partisipasi publik di tingkat lokal, makin tinggi pula derajat legitimasi politik pemerintah. Kedua, desentralisasi merupakan sarana (means) yang lebih efektif untuk meningkatkan akuntabilitas pemimpin politik dan birokrat. Sebagai konsekuensinya, ada perbaikan akses bagi publik terhadap pelayanan dan fasilitas yang diinisiasi oleh pemerintah. Ketiga, desentralisasi mendorong proses pelembagaan budaya demokrasi dengan cara memberikan ruang yang cukup bagi kelompok dan individu di tingkat lokal untuk membuat keputusan-keputusan politik dan anggaran. Kalau desentralisasi diterapkan secara cermat, praktis berbagai persoalan di birokrasi seperti red-tapedan kekakuan prosedur dapat direduksi dan birokrasi lebih mendasarkan dirinya pada keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari masyarakat lokal. Juga, kalau diterapkan secara lebih hati-hati, desentralisasi mempermudah arus pertukaran informasi di tingkat lokal. Keempat, dalam kaitannya dengan kemiskinan, desentralisasi menyiapkan kerangka kerja (framework) yang lebih baik untuk proses eradikasi kemiskinan. Kelima, desentralisasi mendorong terciptanya mekanisme check and balance di antara pemerintah pusat dan unit-unit pemerintah dan administrasi di tingkat daerah – suatu karakter kunci demokrasi dan tata pemerintahan yang baik. Keenam, transfer kewenangan dan risorsis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan memberikan peluang yang cukup bagi warga negara lokal untuk memainkan peran secara langsung dalam proses pembangunan; sebagai katalis pembangunan dan proses perubahan, para warga negara di tingkat lokal dapat memutuskan skala prioritas berbagai pelayanan publik.
Dengan adanya otonomi daerah yang menjadi harapan semua aspek masyarakat adalah terwujudnya kesejahteraan sosial ataupun kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, tingginya pendidikan dan kesehatan juga terjamin, apabila kesejahteraan masyarakat dan sudah tercapai otonomi daerah dapat dikatakan berjalan dengan baik dan sukses.

2. Filosofi Perencanaan wilayah dapat dilihat dari bagan berikut,berilah analisa
Model Kerja
Sumber Acuan
Nilai
Unit Kajian
Perencanaan
Metode Kerja
Pengertian Wilayah
Induktif
#Fenomena
#Realitas empiris
#Amatan Lapangan
# Unit Keunikan (spasial,ekonomi, budaya,social)
Tema-tema lokal
#Eksplorasi empiris
#Perumusan Konsep Lokal + tindakan
# Pertampalan dan cluster
# anyaman dan keragaman
Deduktif
# Norma
#Pendidikan
#UU
#RPJP
#Konsensus Politik
#Kebijakan
#Arahan

#Kebijakan
#Strategi
#Konsep
#Sektor
#Analisis  hierarki
#Operasionalisasi Standart, norma
#Formalisasi konsep tindakan
# Sub system dan wilayah nasional
# Bagian dan suatu Kesatuan

Menurut Ovalhanif (2009), “filsafat perencanaan” adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip dalam proses dan mekanisme perencanaan secara mendalam, luas, dan menyeluruh berdasarkan filsafat antologis, epistemologis, dan aksiologis. Filsafat perencanaan juga diharapkan akan dapat menguraikan beberapa komponen penting perencanaan dalam sebuah perencanaan yakni tujuan apa yang hendak dicapai, kegiatan tindakan-tindakan untuk merealisasikan tujuan dan waktu kapan bilamana tindakan tersebut hendak dilakukan.

Kerangka pikir dari filosofi perencanaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Strategi perencanaan adalah untuk membentuk/membuat suatu konsep/konteks untuk keputusan dalam kelembagaan;
2.      Tujuan dan proses perencanaan adalah untuk merumuskan arah pelembagaan dan berusaha untuk lebih baik;
3.      Hasil yang diinginkan dari proses perencanaan adalah untuk menyajikan suatu dokumen yang penting, berguna bagi semua orang.

Filosofi perencanaan strategis mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan yang realitas dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
1.      Filosofi Perencanaan Teknokrat 
a)      Dilaksanakan oleh kelompok teknorat;
b)      Keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan;
c)      Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi;
d)     Menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari;
e)      Produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat

2.       Filosofi Perencanaan Partisipatif Menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
3.      Filosofi Perencanaan top down
a)      Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik;
b)      Melibatkan lebih banyak teknokrat;
c)      Mengandalkan otoritas dan diskresi;
d)     Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan, konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.
4.      Filosofi Perencanaan bottom up
a)      Dilaksanakan secara kolektif;
b)      Mengandalkan persuasi;
c)      Mempunyai argumen untuk meningkatkan efektivitas, meningkatkan kinerja (performance, outcome), merupakan social virtue (kearifan sosial), serta masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Ruang Lingkup Model kerja Induktif lebih menitik beratkan kepada kepentingan dan kebutuhan local, yaitu lebih memperhatikan masyarakat di tinggkat yang paling dasar serta keadaan yang terjadi di local tersebut. Model kerja seperti ini yaitu dari khusus/kecil yang menjadi focus perencanaan dan pembangunan wilayah, Sedangkan ruang lingkup Model Kerja Deduktif yaitu lebih menitik beratkan kepada kepentingan umum dalam hal ini yang lebih luas adalah Negara, pembangunan dan perencanaan wilayahnya lebihmenitik beratkan pada hasil dan untuk kepentingan dan kebutuhan Negara ataupun ruang lingkup yang lebih luas lagi.
Dalam perencanaan wilayah ada dua cara dalam metodologi perencanaan, yaitu :
1.      Mencari kunci pemecahan masalah, misalnya apa masalahnya dan apa yang perlu diperbaiki. Ini disebut pendekatan deduktif
2.      Pendekatan induktif, bertolak dari masa mendatang mencari langkah-langkah pemecahan atas apa yang diinginkan di masa mendatang.
Satu hal yang perlu diputuskan sebelum memilih pendekatan di atas, yaitu menetapkan  tujuan pembangunan.  Ini akan  menjadi jelas kalau dilakukan  pengkajian dan diskusi tentang tujuan apa yang ingin dicapai dengan pembangunan.  Sebagai contoh para perencana di daerah menginginkan bahwa tujuan pembangunan di daerah adalah peningkatan pendapatan dan selanjutnya perbaikan kesejahteraan rakyat, sedangkan pemerintah pusat lebih cenderung menginginkan  sebagai tujuan adalah peningkatan produksi.
Dilihat dari sumber acuan nilai fenomena analisisnya tidak mengkaitkan hubungan antara makluk hidup dengan lingkungan alam saja, tetapi harus pula dikaitkan dengan:
1.      fenomena yang didalamnya terliput fenomena alam beserta relik fisik tindakan manusia.
2.      perilaku manusia yang meliputi perkembangan ide-ide dan nilai-nilai geografis serta kesadaran akan lingkungan.
Perencanaan wilayah dalam pendekatan birokrasi Kita bisa menyebut kedua istilah ini dengan 'Top Down menjadi Bottom Up'. Sebagai arah kebijakan, sebuah rencana pembangunan sering menjadi regulasi yang kaku dan sangat birokratif. Segala kebutuhan penduduk biarlah dipenuhi oleh pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pelayanan. Tetapi, 'pagar' birokrasi sering tidak melihat realita empiris. Apa yang disediakan oleh pemerintah ternyata bukan merupakan kebutuhan (needs) yang dibutuhkan penduduk dan tidak sesuai dengan acuan dilapangan. Untuk itu, sifat perencanaan yang semacam ini harus dirubah dengan lebih mendengar suara masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat dalam porsi yang tepat sebagai pertimbangan pengambilan kebijakan akan memudahkan perencana dan pemerintah untuk membedakan kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) penduduk. Dengan begitu prioritas pembangunan bisa dipilih dan dipilah sesuai kebutuhan penduduk. 
Sedangkan Norma, Pendidikan, UU, RPJP, Konsensus Politik, Kebijakan dan arahan diajadikan sumber acuan nilai dalam perencanaan pembangunan wilayah secara lebih formal dan terukur karena sudah mempunyai ketentuan dan ketetapan yang telah diputuskan terlebih dahulu, misalnya Undang-Undang dan RPJP merupakan sumber acuan yang resmi yang sering dijadikan pedoman. Sumber acuan yang dijelaskan diatas merupakan produk pemerintahan yang dapat digunakan secara umum tetapi sering kali tidak tepat sasaran karena ketika sampai di daerah maupun dilapangan dihadapkan dengan fenomena yang berbeda. Setiap daerah memiliki karakter dan kebutuhan pembangunan wilayah yang berbeda-beda oleh sebab itu seorang planner harus mengetahui terlebih dahulu apa yang diinginkan masyarakat sehingga proses perencanaan dan pembangunan disuatu wilayah dapat berjalan dengan baik serta tidak melanggar Norma, Undang-Undang ataupun sumber acuan nilai yang lainnya.
            Unit kajian perencanaan secara induktif yaitu Unit Keunikan (spasial, ekonomi, budaya, social) tema-tema local. Sudah sangat jelas bahwasanya masyarakat local pastinya sangat menjaga kelestarian budaya maupun adat mereka karena hal tersebuat merupakan salah satu kekayaan local juga yang harus dijaga keaslian dan keasriannya. Sangat sering sekali di daerah daerah membuat pagelaran seni ataupun adat istiadat yang sudah turun temurun mereka lakukan setiap tahunnya, dalam keunikan inilah, budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat dapat dijadikan sebagai pagelaran yang bernilai ekonomis dan dapat mendatangkan wisatawan domestic ataupun macan negara untuk melihat pertunjukan budaya, hal ini tentu saja bernilai ekonomi. Di daerah maupun local lebih menitik beratkan dalam bidang ekonomi yaitu dibidang pertanian, hamper sebahagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani, pengelola kebun dan industry kecil seperti industry rumah tangga.
Unit Kajian Perencanaan secara Deduktif yaitu menghasilkan kebijakan, strategi, Konsep dan Sektor. Dalam hal ini yang berperan penting dalam menentukan kebijakan adalah pemerintah atau yang mempunyai kekuasaan dalam negara, baik lembaga eksekutif dan legislatif keduanya haruslah menghasilkan kebijakan-kebijakan serta konsep-konsep perencanaan dan pembangunan yang menitik beratkan untuk kepentingan rakyat banyak bukan hanya sekedar untuk menghasilkan pundi pundi uang yang lebih banyak dengan menggalakkan industri secara besar-besaran.
Metode kerja secara Induktif yaitu Eksplorasi empiris, dilakukan melalui inventarisasi awal berbagai isu-isu aktual (analisis berita) dan kajian terhadap dokumen peraturan perundangan yang menyangkut kerjasama sektoral dan daerah. Melakukan pendalaman kasus/bentuk/model kerjasama pembangunan sektoral dan daerah di lapangan untuk memperoleh gambaran lebih lengkap dan detail terhadap beberapa isu determinan dan model kerjasama sektoral dan daerah, berdasarkan hasil inventarisasi. Kerangka yang dapat digunakan adalah berdasarkan karakteristik kegiatan sektoral seperti: 1).Sektor-sektor yang berperan dalam peningkatan pendapatan, seperti sektor yang berkaitan dengan pembangunan fisik dan investasi. 2). Sektor-sektor yang berperan dalam mengurangi beban, seperti sektor-sektor yang relatif lebih lunak, contohnya pendidikan, kesehatan dan sosial. 3).Sektor-sektor yang terkait dengan kelembagaan, organisasi dan tata kerja.
Metode kerja secara Dedukif salah satunya adalah Analisis  hierarki dalam berbagai skala: nasional, regional, dan lokal. Misalnya masalah keamanan. Dalam UU 22/1999, keamanan merupakan tanggung jawab nasional. Tetapi keamanan bukan public goods yang homogen. Ada segmen keamanan yang bersifat nasional, regional, dan lokal. Agak sebanding dengan hal ini adalah tata air. Ada tata air yang bersifat regional (Wilayah Aliran Sungai/WAS atau DAS) dan lokal (Sub-DAS pada daerah tertentu). Hierarki dari barang publik ini sangat potensial menimbulkan persoalan antar daerah dan antar sektor.
Pengertian wilayah secara Induktif yaitu pertampalan dan cluster, maksudnya adalah adanya pengelompokan-pengelompokan ataupun pengkotak kotakan suatu wilayah. Sedangakn secara Deduktif adalah satu kesatuan yang utuh yang bergabung menjadi satu baik dari sisi wilayah, kebudayaan, bahasa daerah, maupun adat istiadat.


DAFTAR PUSTAKA

Miraza, Bactiar Hassan, 2010. Khasanah Ruang Dalam Kebijakan Publik. Medan: USU Press.
Nugroho, Randy Rian, 2006. Managemen Pembangunan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
Salam, Dharma Setiawan, 2009. Otonomi Daerah.Jakata: Penerbit Djembatan.
Siagian, Sondang P, 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Sirojuzilam, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional, Pustaka Bangsa Press

UU No.32 Tahun 2004
www.bappenas.go.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KELEMAHAN TEORI LIMA TAHAP PEMBANGUNAN WALT WHITMAN ROSTOW

Pendahuluan             Tulisan ini mengkaji mengenai satu teori yang sangat fenomenal dan berpengaruh, serta teori yang paling banyak mendapat komentar dari para ahli. Teori tersebut dikemukakan oleh seorang tokoh Ekonom Amerika yang bernama Walt Whitman Rostow. Teori pembangunan ekonomi versi Rostow ini sangat populer. Teori ini pada mulanya merupakan artikel Rostow yang dimuat dalam Economics Journal (Maret 1956). Walt Whitman Rostow kemudian membukukan ide tersebut dengan judul: The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang diterbitkan pada tahun 1960. Ia meluncurkan teorinya sebagai ‘sebuah manifesto anti-komunis’ sebagaimana tertulis dalam bentuk subjudul. Rostow menjadikan teorinya sebagai alternatif bagi teori Karl Marx mengenai sejarah modern. Buku itu kemudian mengalami pengembangan dan variasi pada tahun 1978 dan 1980. Rostow pulalah yang membuat distingsi antara sektor tradisional dan sektor kapitalis modern. Frasa-frasa ini terkenal dengan terminologi

Kritikan Terhadap Teori Talcott Parsons : Fungsionalisme Struktural

Talcott Parsons: Fungsionalisme Struktural                                 Pendahuluan  Di era modernisasi bahwa keilmuan merupakan sarat utama yang harus di miliki oleh manusia agar dapat menjalankan hidup secara dinamis dan kontekstual. Unsur-unsur yang bersifat rasional sangat dijunjung tinggi sebagai pembuktian tentang hal tersebut sehingga dapat dikategorikannya ke dalam sebuah ilmu yang bersifat ilmiah. Berbagai pendekatan dalam kajian dunia keilmuan merupakan hal yang terpenting untuk memperkuat fakta dan data agar dapat dijadikan sesuatu yang empiris berdasarkan rasionalitas manusia. Secara normatif, sesuatu dikatakan sebagai ilmu dalam konteks sekarang salah satunya adalah memiliki teori di dalamnya. Teori berfungsi sebagai pisau analisis dari sebuah keilmuan. Tingkat pengelompokan teori-teori dalam keilmuan pada hakekat dan perkembangannya dibagi ke dalam beberapa bagian sesuai dengan pendekatan-pendekatan keilmuan tersebut atau apa yang disebut dengan disiplin ilm

Gaya Kepemimpinan Organisasi HMI

                 GAYA KEPEMIMPINAN DI ORGANISASI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM Pendahuluan 1.1   Latar Belakang Mahasiswa adalah seseorang yang belajar/ menuntut ilmu di perguruan tinggi tertentu dan masih terdaftar di perguruan tinggi tersebut. Dengan demikian mahasiswa merupakan kaum intelektual yang memiliki tanggungjawab sosial yang khas sebagai mana yang telah dirumuskan oleh Edward Shill. menurutnya kaum intelektual memiliki lima fungsi yakni mencipta dan menyebar kebudayaan tinggi, menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, membina keberdayaan dan bersama, mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik. Sedangkan menurut Arbi Sanit mahasiswa cenderung terlibat dalam tiga fungsi terakhir. Berdasar beberapa pendapat di atas tentunya kita selaku mahasiswa harus menyadari fungsi dan perannya di masyarakat, sehingga bisa menempatkan diri secara proporsional sesuai dengan potensi, kapabilitasnya serta kualitas kemahasiswaan. Mahasiswa sebagai kelomp